Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) mengakui eksistensi peradilan adat. Dasar yurisprudensi MA itu menentukan bahwa MA sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan kepala adat bagi pelanggar hukum adat. Misalnya Putusan MA No 666 K/Pid/1984, tanggal 23 Februari 1985; Putusan MA No 1644 K/Pid/1988, tanggal 15 Mei 1991; Putusan MA No 3898 K/Pdt/1989, tanggal 19 November 1992. Begitu juga dalam tataran kebijakan legislasi yang bersifat local eksistensi peradilan adat juga tetap diakui. Misalnya UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Papua, Peradilan Gompung. Putusan MA di atas menegaskan tentang Putusan Adat dalam praktik peradilan Negara.
“Kehadiran Pasal 1 KUHP di zaman penjajahan Belanda memicu matinya peradilan adat. Di masa itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda saat itu. Namun akan dirasakan lain jika kebijakan itu masih diteruskan hingga saat ini. Jadi secara nasional implisit sebetulnya pengadilan adat itu sudah diatur, tapi secara eksplisitnya tidak dilanjutkan," ungkap pejabat PN Jakarta Utara itu.
Rikardo Simarmata, Ph.D, dalam presentasinya berpendapat bahwa sebagian orang Indonesia terjebak dalam pemikiran hukum kolonial yang tidak melihat hukum sebagai representasi nilai-nilai universial, melainkan sebagai representasi identitas (kultural) dan beraspek kekuasan. Oleh karena itu, Rikardo Simarmata mengusulkan dua hal dalam dialog nasional tersebut: pertama, mengakui dan memberikan kedudukan pada peradilan adat pada hukum adat tidak lantas berbanding lurus dengan kurangnya kekuasan negara atas administrasi keadilan dan terfasilitasnya identitas-identitas kultural yang sempit.
Kedua, pengakuan dan pemberian kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional seyogyannya dengan ikhtiar untuk menjadikan hukum (baik hukum negara maupun hukum adat) sebagai representasi nilai-nilai universial, bukan representasi nilai-nilai kelompok-kelompok kepentingan yang sempit. Apa yang telah diuraikan diatas, sudah jelas bahwa peradilan adat telah diatur dalam tatanan hukum nasional. Peradilan adat diakui dan dihormati, menganut nilai-nilai universal, mendamaikan para pihak yang bersengketa. Tidak ada alasan lagi bagi hakim-hakim PN di seluruh nusantara tidak mengakui adanya peradilan adat pada masyarakat adat. Peradilan adat (hukum adat) harus ditempatkan dengan tegas sebagai bagian integratif dari sistem hukum nasional, maka tatanan hukum Indonesia tidak akan stagnan.
Ketidakjelasan politik hukum di Indonesia, telah menyebabkan Peradilan Adat selama ini dalam kondisi tidak jelas. Dengan kata lain “Peradilan Adat jadi korban politik hukum di Indonesia”. Untuk menempatkan Peradilan Adat dalam system hukum nasional perlu menetapkan yurisdiksi untuk Peradilan Adat dan Peradilan Nasional.
Namun, yang paling penting sekarang adalah kemauan politik hukum pemerintah. Mau atau tidak melanjutkannya dalam bentuk perundang-undangan. Kondisi peradilan adat yang terjadi selama ini. Oleh karena itu, tugas kita bersama sekarang adalah bagaimana mendorong hukum rakyat (Peradilan Adat) dapat melengkapi proses penegakan hukum di Indonesia.
Agustinus,SH
Politik hukum di Indonesia yang tidak jelas, menyebabkan Peradilan Adat selama ini tidak diakui
- Details