Masalah mulai terjadi sejak pemerintah secara sepihak menetapkan hutan adat Ketemenggungan Siyai menjadi wilayah Taman Nasional pada tahun 1992. Masyarakat sekitar yang tidak terlalu paham dengan Taman Nasional, pada awalnya mengira Taman Nasional tidak akan merampas hak adat mereka. Sehingga mereka tidak membuat reaksi apapun. Apalagi informasi dari pihak Taman Nasional juga mengatakan bahwa Taman Nasional tidak membatasi akses masyarakat terhdap hutannya. Namun setelah berlangsung beberapa tahun, apalagi setelah adanya larangan dan pembatasan akses warga terhadap hutan, baru warga sadar bahwa ternyata Taman Nasional telah merampas hutan mereka. Masyarakat dilarang memanfaatkan hutan untuk meramu, berburu dan membuat ladang. Hal ini jelas tidak bisa diterima masyarakat.

Terjadinya pertentangan antara masyarakat dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya kemudian direspon dengan melakukan antisipasi terhadap kelestarian Taman nasional dengan cara membuat dan memperjelas batas antara Taman Nasional dan Hutan Adat masyarakat. Maka dilakukanlah pemetaan partisipatif yaitu pemetaan yang melibat masyarakat setempat tahun 1998.

Peta partisipatif tahun 1998 merupakan dasar pijakan bagi semua pihak dalam melihat keberadaan Taman Nasional BBBR dan wilayah adat masyarakat. Bagi masyarakat, peta tahun 1998 adalah patokan yang menunjukan batas antara Taman Nasional dan Wilayah Adat (Hutan Adat) mereka. Namun Taman Nasional secara sepihak kemudian merubah batas-batas Taman Nasional. Taman Nasional ternyata tidak berpatok pada peta partisipatif tahun 1998 tersebut. Hal ini terlihat dari tindakan Taman Nasional memasang patok-patok di kilometer 28 yang ternyata area persawahan masyarakat belaban sungkup. Kemudian menurut informasi dari pihak Taman Nasional ketika dialog di Polres Malawi 16 September 2007, memang benar bahwa Taman Nasional telah mengeluarkan peta baru yang memindahkan batas sampai ke kilometer 28. Tindakan Taman Nasional memindahkan batas secara sepihak ini yang kemudian memicu masalah.

Walaupun Taman Nasional telah membuat patok-patok, tapi diabaikan saja oleh masyarakat. Masyarakat adat yang patuh dengan peta 1998, tetap melakukan aktivitasnya di wilayah adatnya seperti biasa yaitu meramu dan membuat ladang. Namun Taman Nasional dengan mendasari pada peta yang dibuatnya secara sepihak kemudian menganggap perbuatan masyarakat membuat ladang adalah pelanggaran.

Puncak Peristiwa


Puncak konflik antara masyarakat dan Taman Nasional terjadi ketika Pak Manan, Pak Toroh, Pak Pori, Ibu Ocik dan Ibu Tiran membuka ladang di pinggiran sungai Ella yang merupakan kawasan hutan Adat mereka. Oleh pihak Taman Nasional, mereka dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan merusak lingkungan Taman Nasional. Laporan pihak Taman Nasional tersebut ditindaklanjuti oleh Polisi. Pada tanggal 15 agustus polisi mengecek tempat berladang masyarakat tersebut. Kemudian polisi datang lagi pada tanggal 16 Agustus bersama dengan pihak Taman Nasional. Mereka yang datang dua orang berpakaian preman, 4 orang berpakaian dinas. Polisi datang lengkap dengan senjatanya. Mereka mengaku mau menjemput pak Manan dan pak Toro, namun masyarakat tidak melepaskan pak Manan dan pak Toro. Merasa tidak berhasil menjemput pak Manan dan pak Toroh, polisi dan beberapa orang Taman Nasional menyuruh pak Toro dan pak Manan membuat surat pernyataan agar tidak membakar ladangnya, lalu pulang. Mereka juga menyatakan bahwa harus dilakukan pertemuan di Sungkup dengan menghadirkan pihak kecamatan menukung. Masyarakat menyetujui dan mendukung rencana tersebut. Namun ternyata sebelum pertemuan yang direncanakan pada tanggal 30 agustus terealisasi, pada tanggal 25 Agustus 2007 polisi datang ke km 39 (pondok pak Manan dan pak Toroh) membawa surat penangkapan atas nama pak Manan dan Pak Toro. Surat penangkapan hanya ditunjukan saja. Sebelum membawa pak Toro, Manurung (polisi kepala PAM 35 Pt SBK) mengatakan bahwa pak Toroh hanya dibawa ke kantor kades Siyai. Namun ternyata pak Toroh bukan dibawa ke kantor Kades Siyai tapi langsung ke Nanga Pinoh dan ditahan. Surat penangkapan baru diserahkan kepada keluarga Pak Toro 5 hari setelahnya.

Setelah ditangkapnya Pak Toroh, dilakukanlah pertemuan tanggal 30 Agustus yang dihadiri wakil camat, wakil kapolsek, wakil Danramil kecamatan Menukung, Polisi Pamong Praja, dan staf kecamatan. Dalam pertemuan ini justru pihak Taman Nasional yang tidak hadir, padahal mereka yang mengusulkan pertemuan tersebut. Karena pihak Taman Nasional tidak hadir, maka pertemuan tidak menghasilkan sesuatu. Karena tidak menghasilkan sesuatu, maka Kades Siyai dan salah seorang warga Desa Siyai diutus untuk menghadap DPRD dan Bupati kabupaten Melawi di Nanga Pinoh. Namun oleg Camat Menukung dua orang utusan ini dicegah untuk tidak menghadap DPRD dan Bupati. Camat berjanji untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak Taman Nasional. Maka disepakatilah akan melakukan pertemuan tanggal 4 September 2007. Maka pada tanggal 4 September 2007 dilakukanlah pertemuan di kecamatan Menukung. Hadir dalam pertemuan ini masyarakat Desa Siyai, Camat, wakil Polsek, wakil Danramil dan pihak Taman Nasional. Dalam pertemuan ini masyarakat minta penjelasan mengenai tapal batas Taman Nasional dengan wilayah adat, dan batas dengan SBK. Namun pihakTaman Nasional yang diwakili Edi tidak berani memberikan keputusan sebelum berkonsultasi dengan pimpinannya aitu Erwin. Masyarakat juga sempat menanyakan nasib pak Toroh yang ditangkap polisi pada tanggal 25 Agustus, namun Edi mengatakan bahwa informasinya setelah 21 hari lagi.

Tanggal 9 September 07, pak Manan, Ijus (kadus Belaban) dan Pori, turun ke Pinoh dalam rangka memenuhi panggilan ke-2 Polres Melawi sebagai saksi. Karena pak Manan sakit, maka yang menghadap ke Polres hanya kepala dusun Belaban dan Pori. Setelah memberi keterangan di Polres, pak dusun dibolehkan keluar tapi pak Pori langsung masuk ke tahanan. Dengan ditahankannya pak Pori, bearti sudah dua orang yang ditahan.


Tuntutan Masyarakat Ketemenggungan Siyai


Masyarakat Ketemenggungan Siyai merasa bahwa pihak Taman Nasional dan Kepolisian bertindak sewenang-wenang. Menangkap masyarakat yang membuat ladang sungguh merupakan tindakan pelecehan karena membuat ladang merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup serta merupakan tradisi yang diturunkan secara turun temurun. Mengkap masyarakat yang membuat ladang sama halnya membunuh secara perlahan masyarakat. Dengan membubuhkan tanda tangan dan cap jempol, masyarakat kemudian memuat surat tuntutan yang ditujukan kepada Taman Nasional selaku pelapor dan Polres Melawi yang melakukan eksekusi (penangkapan). Adapun tuntutan mereka adalah sebagai berikut:

  1. Menuntut Polres untuk membebaskan warga masyarakat yang ditahan dan menyerahkan prosesnya kepada aturan adat/hukum adat setempat;
  2. Menuntut Taman Nasional untuk mencabut laporannya terhadap warga masyarakat Dayak Limbai Ketemenggungan Siyai;
  3. Menjatuhkan kepada Taman Nasional dan Polres Melawi hukum adat Kesupan Adat, Kesupan Masyarakat, Kesupan Temenggung dan Kesupan Pengurus Kampung. Kemudian mereka juga menjatuhkan hukum adat Perusak nama baik Temenggung dan Masyarakat kepada pihak yang sama;
  4. Menjatuhkan kepada Taman Nasional hukum adat Perampasan Hak, karena Taman Nasional telah mengklaim Hutan Adat Masyarakat Ketemenggungan Siyai secara sepihak sebagai Wilayah Taman Nasional.


Surat tuntutan tersebut dibawa dan disampaikan langsung oleh tokoh-tokoh adat dan pengurus kampung beserta masyarakat pada tanggal 19 September 2007 ke Taman Nasional dan Polres kabupaten Melawi. Walaupun ketika tuntutan disampaikan, Polres dan Taman Nasional tidak mau dihukum adat dengan dalih bahwa mereka tunduk kepada hukum Formal, bagi masyarakat adalah yang terpenting Taman Nasional dan Polisi tahu bahwa tindakan dan perbuatan mereka telah melanggar aturan adat masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa di Polres dan Taman Nasional mereka diabaikan, tapi mereka akan menegakan hukum adat ketika Taman Nasional masuk ke wilayah mereka, karena wilayah Taman Nasinaol sesungguhnya berada di dalam kekuasaan dan naungan hukum adat masyarakat.


Bukti Sejarah Kepemilikan Hutan Masyarakat


Hutan yang sekarang diklaim Taman Nasional adalah hak masyarakat ketemenggungan Siyai. Dari segi sejarah, jelas bahwa terdapat tanda-tanda sejarah yang menunjukan kepemilikan masyarakat atas kawasan tersebut yaitu Batu Betanam. Menurut ceritanya, dulu telah terjadi pertumpahan darah saat proses penguasaan wilayah adat yang diklaim Taman Nasional sekarang. Karena menang dalam pertempuran itu, maka masyarakat ketemenggungan Siyailah yang menguasai dan memiliki hak atas hutan dan wilayah adat tersebut. Tempat peristiwa pertumpahan darah tersebut masih ada sekarang ini.


Dua Kesalahan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya

 

  1. Taman Nasional Langgar Peta 1998: Peta partisipatif tahun 1998 merupakan dasar pijakan bagi semua pihak dalam melihat keberadaan Taman Nasional BBBR dan wilayah adat masyarakat. Namun Taman Nasional secara sepihak kemudian merubah batas-batas taman Nasional. Pada tahun 2006, Taman Nasional mengeluarkan peta baru yang memindahkan batas sampai km 28, yang ternyata merupakan wilayah usaha sawah masyarakat.
  2. Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya tidak mengikuti Mandat UU No 5 Tahun 1990 Ttg Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No 68/98 Ttg Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Mentri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 Ttg Pedoman Zonasi Taman Nasional. Hal-hal yang diabaikan oleh Taman Nasional adalah:
    • Taman Nasional Tidak Mematuhi Tahapan Pembentukan Taman Nasional. Menurut peraturan perundangan ada dua Tahapan besar yang harus dipenuhi dalam pembentukan Taman Nasional, yakni: Penetapan Kawasan terdiri dari penunjukan kawasan, penataan batas dan penetapan kawasan dan Pengelolaan Kawasan terdiri dari rencana pengelolaan, pengawetan, pemanfaatan.
    • Tidak Mematuhi Tahapan Penetapan Kawasan TN. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional, setelah melalui tahapan kegiatan yaitu: penunjukan kawasan beserta fungsinya; penataan batas kawasan; dan penetapan kawasan. (pasal 7). Suatu wilayah Taman Nasional dinyatakan sah secara hukum jika sudah menempuh tiga tahapan ini. Jika belum ditempuh maka kawasan tersebut belum bisa disebut sebagai Taman Nasional
    • Tidak Melalui mekanisme penetapan Taman Nasional. Disebutkan bahwa Penataan batas dilakukan oleh pemerintah dibantu pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat. Nah, TNBBBR ternyata tidak melibatkan masyarakat.
    • Tidak Mengikuti Tahapan Pengelolaan Taman Nasional karena Rencana pengelolaan Taman Nasional tidak disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya
    • Tidak Mengikuti Tata Cara Penataan Zonasi yang benar. Dikatakan bahwa salah satu tata Cara penataan Zonasi harus melakukan Konsultasi publik; Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya tidak melakukan konsultasi publik sehingga Penataan Zonasi Taman Nasional tersebut harus dianggap melanggar peraturan yang ada.
    • Tidak membuat kode yang jelas mengenai Zonasi TN misalnya Zona inti diberi plat seng dengan cat dasar warna merah dan tulisannya warna putih dengan kodenya ZI dan seterusnya. Zonasi baru bisa dilakukan setelah para pihak (termasuk masyarakat) menandatangani Berita Acara Penyusunan Draft Zonasi. Jika belum ada penandatanganan masyarakat maka tata batas yang ditetapkan harus dianggap melanggar hukum
    • Tidak mengikuti Syarat Penetapan Zonasi yaitu Penandatanganan Berita Acara Penetapan Zonasi yang telah mendapat persetujuan Direktur; dan Penandatangan Berita Acara Tata Batas
    • Tidak melakukan Konsultasi Publik dengan masyarakat. Padahal Pembahasan konsep zonasi (draft rancangan zonasi) yang telah disiapkan bersama para pihak harus mendapatkan tanggapan penyempurnaan dari masyarakat.
    • Dokumen berupa rekomendasi Pemerintah Daerah; dan Buku Data dan Analisa Dalam Rangka Zonasi tidak disampaikan kepada masyarakat. Tidak Melibatkan Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat dalam zonasi taman nasional antara lain: Memberi saran, informasi dan pertimbangan; Memberikan dukungan dalam, pelaksanaan kegiatan zonasi; Melakukan pengawasan kegiatan zonasi; Ikut menjaga dan memelihara zonasi.