Aktivitas pertambangan batu bara tersebut baru pada tahap survey untuk menentukan kualitas dari batu bara yang terdapat di Bukit Kerabas dan Bukit Alat. Kegiatan survey oleh perusuhaan sudah berlangsung sekitar 2 tahun lebih, yaitu sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 ini. Keberadaan perusahaan batu bara tersebut membuat masyarakat adat Limbai bingung, karena mereka belum mengetahui secara detil mengenai sebuah perusahaan pertambangan batu bara. Apalagi belum mengetahui secara detil mengenai apa untung dan ruginya apabila pertambangan batu bara bagi masyarakat adat di sekitar perusahaan. Yang membuat masyarakat adat kesal lagi adalah pemerintah daerah kabupaten Melawi tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai dampak dari pertambangan tersebut. Ternyata perusahaan telah melakukan survey di bukit tersebut tanpa ada musyarawarah dengan masyarakat adat.
Dengan tidak adanya musyawarah terlebih dahulu tersebut, maka masyarakat adat Limbai menolak secara tegas keberadaan PT. SSP yang masih dalam survey. Penolakan masyarakat adat didasarkan pada bahwa bukit kerapas dan bukit alat merupakan bukit yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat. Selain itu, dampak dari aktivitas perusahaan akan menyebabkan air menjadi kotor, udara menjadi beracun, dan banyak masyarakat adat akan sakit paru-paru. Menurut warga kampung Bunyau, Pelaik Keruap, Teluk Rabin, Batas Nangka, Entubu dan Guhung Keruap bahwa kami tidak setuju dengan perusahaan batu bara, karena perusahaan akan menyebabkan bukit akan roboh, air menjadi bersih dan udara akan tercemar oleh zat-zat beracun.
Sebenarnya masyarakat adat Limbai sudah beberapa kali memperingatkan perusahaan agar jangan lagi melakukan survey batu bara di wilayah mereka. Peringatan oleh masyarakat yang dibuat dalam sebuah surat penolakan dengan dicap jempol oleh warga masyarakat adat Limbai pada tahun 2004. Tapi surat pernyataan penolakan tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah kabupaten Melawi. Bahkan pihak perusahaan beserta timnya dari pemerintah tetap melakukan survey batu bara di wilayah bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau.
Untuk mensukseskan masuknya perusahaan pertambangan tersebut, pihak pemerintah kecamatan Menukung melakukan sosialisasi bahwa pertambangan batu bara tetap akan beroperasi di wilayah Pelaik Keruap kepada masyarakat adat di Kampung Pelaik Keruap pada acara safari kesehatan dan pendidikan. ”Kami pun heran kenapa harus bertepatan dengan kunjungan safari baru memberi tahu bahwa perusahaan akan tetap melakukan aktivitas di bukit Kerapas, bukit Alat dan bukit Bunyau,” kata Suparman, salah seorang kepala dusun Teluk Rabin. Padahal masyarakat adat di sekitar bukit tersebut sudah lama menolak perusahaan batu bara dengan membuat surat pernyataan yang dicap jempol oleh warga masyarakat, tambah dia lagi.
Puncak Kekesalan Masyarakat Adat
Karena pemerintah daerah Kabupaten Melawi dan perusahaan batu bara tidak mau mengindahkan peringatan dan surat penolakan masyarakat adat Limbai. Ketidak pedulian pemerintah daerah dan perusahaan mengindahkan peringatan tersebut membuat masyarakat adat Limbai kesal, apalagi setiap melakukan survey tidak pernah minta ijin dengan masyarakat adat di sekitar lokasi yang merupakan penduduk asli pemilik bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau.
Kekesalan masyarakat adat Limbai memuncak pada tanggal 8 Oktober 2006, sekitar 120 berkumpul dari 6 kampung, yaitu Pelaik Keruap, Teluk Rabin, Entubu, Guhung Keruap, Bunyau dan Batas Nangka sepakat untuk menghukum adat pemerintah daerah dan tim perusahaan yang kebetulan sedang melakukan survey batu bara di bukit kerapas dan bukit alat. Hukuman adat dijatuhkan kepada Perusahaan PT. SSP yang beralamat di Jakarta dan Dinas Pertambangan tingkat Propinsi dan Kabupaten Melawi serta di tambah 2 (dua) orang Barat”.
Hukuman adat yang dijatuhkan adalah Adat Pelanggar, yaitu adat pelenggaran terhadap keberadaan masyarakat adat Limbai yang bermukim di sekitar bukit kerapas, bukit alat dan bukit bunyau. Artinya pemerintah daerah Kabupaten Melawi dan perusahaan tidak menghormati serta menghargai keberadaan adat dan hukum adat yang berlaku di masyarakat adat yang hidup di sekitar bukit kerapas dan bukit alat. Adat pelanggar yang dijatuhkan terdiri dari: ”Adat Kesupan Temenggung yang besarnya 4 Ulun, terdiri dari 4 (empat) buah tempayan tajau; Adat Kesupan Dewan Adat yang besarnya 3 Ulun, terdiri dari 3 (tiga) buah tempayan tajau; Adat Kesupan Kepala Dusun yang besarnya 3 Ulun, terdiri dari 3 (tiga) buah tempayan tajau; Adat Kesupan Kampung yang besarnya 1 Ulun, terdiri dari 1 (satu) buah tempayan tajau ditambah dengan Adat Kokoh Sengkolan yang besarnya 2 Ulun, terdiri dari 2 (dua) buah tempayan tajau, babi 22,2 kilogram, parang satu buah dan satu ekor ayam. Dengan jumlah sekeluruhan sanksi adatnya 11 Ulun yang kemudian dibagikan kepada 6 kampung. Dengan perhitungan, 11 Ulun x 6 kampung = 66 Ulun.
Selain dikenakan hukum adat di atas, sebagai adat pemutus perkara bagi pengurus adat, maka dikenakan hukum adat 2 (dua) ulun. Pihak-pihak yang diberikan adalah pihak kepolisian Menukung dan pihak pengurus adat. Hukum adat pemutus perkara dimaksudkan agar adat yang sudah diputuskan tidak ada lagi gugatan dari berbagai pihak.
Karena perusahaan tidak mampu menyediakan perangkat adat yang dijatuhkan oleh pengurus adat, maka dengan terpaksa pihak pemerintah dan perusahaan harus membayar dengan nilai nominal yang besarnya 10 juta rupiah. ”Kami terpaksa mengganti nilai adat dengan nilai uang,” kata Pak Aswan, yang merupakan pemutus hukum adat tersebut. Pemberian nilai nominal merupakan kesepakatan masyarakat adat Limbai dengan pihak Pemda dan pihak perusahaan yang kebetulan melakukan survey, kata dia lagi yang dibenarkan oleh Bolong dan Pak Udong. ”Uang yang dibayarkan tersebut langsung dibagikan kepada 6 kampung, yaitu Pelaik Keruap, Teluk Rabin, Entubu, Guhung Keruap, Bunyau dan Batas Nangka yang secara langsung menghukum adat. Pembagian sanksi adat dimakusudkan agar warga masyarakat adat di tiap-tiap kampung tersebut dapat melakukan upacara adat di kampungnya masing-masing.
Karena pihak pemerintah dan perusahaan belum mampu memenuhi sanksi adat pada tanggal 8 Oktober 2006 tersebut, maka diberi kesempatan kepada pemerintah dan perusahaan untuk memenuhinya pada tanggal 9 Oktober 2006, dengan jaminan satu orang dari tim survey harus tinggal sementara di kampung Pelaik Keruap. Jaminan ini atas permintaan dari 6 kampung yang menghukum adat tersebut. Akhirnya pada tanggal 10 Oktober 2006, baru dapat direalisasikan oleh pemerintah daerah Kab. Melawi dan perusahaan.
”Penghukuman Adat kami lakukan karena pihak pemerintah dan perusahaan tidak mau mengindahkan surat penolakan masyarakat. Bahkan pihak pemerintah daerah terus-menerus melakukan sosialisasi dengan masyarakat adat setempat. Pada hal kita sudah menyatakan tidak setuju dengan keberadaan perusahaan batu baru”, kata Pak Iyon Kepala Dusun Pelaik Keruap. Apalagi dalam melakukan sosialisasi, pemerintah selalu memanfaatkan kalau pada waktu ada kegiatan-kegiatan atau program pemerintah di kampung-kampung. Seperti kegiatan safara Kesehatan dan Pendidikan”, tambah Pak Iyon lagi.
Menurut pak Aswan, salah seorang pengurus adat di Kampung Bunyau mengatakan ”hukum adat yang kami berikan berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan perusahaan batu bara. Kami ingin menjunjukan bahwa masyarakat adat Limbai juga punya hukum adat yang semestinya dihormati dan dihargai oleh pihak-pihak luar”.
Untuk itu, pemerintah daerah dan perusahaan janganlah menganggap masyarakat adat tidak punya hukum adat. Beginilah nasib perusahaan yang tidak menghormati dan menghargai keberadaan masyarakat adat. Jangan hanya mencari keuntungan semata tanpa memikirkan dampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat adat.