Hal-hal di atas berlangsung di tengah-tengah masih kuatnya konsep religio-magis pada sejumlah kalangan masyarakat adat dalam melihat hubungan manusia dengan tanah. Bagi masyarakat adat Dayak misalnya, tanah mempunyai arti yang sangat penting. Sebegitu penting sehingga tanah kemudian dianggap sebagai darah. Ada kepercayaan bahwa tanpa tanah, masyarakat adat Dayak akan hilang.
Tulisan ini bermaksud menggambarkan sebuah proses pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan fasilitas Tentara Nasional Indonesia. Pembebasan tanah tersebut berlangsung di Desa Sibau Hilir, Kecamatan Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pembebasan tersebut dilakukan untuk keperluan pembangunan fasililitas Batalyon 644/Walet Sakti. Sebagai sebuah analisis normatif, tulisan ini akan lebih memusatkan diri untuk melihat sejauh mana proses pembebasan lahan di Sibau Hilir mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan yang untuk selanjutnya disebut Perpres No. 36. Sekalipun Perpres 36 telah diganti oleh Perpres No. 56 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, analisis ini tetap akan mengacu pada Perpres 36 karena Perpres No. 56/2006 baru saja berlaku beberapa bulan.
Setelah bagian Latar Belakang ini, tulisan ini akan dilanjutkan dengan bagian yang berisi Gambaran Wilayah Sibau Hilir. Setelah itu akan diteruskan dengan bagian yang menampilkan analisis isi terhadap Perpres 36. Selanjutnya, tulisan ini akan menunjukkan bentuk-bentuk penyelewenangan yang berlangsung dalam proses pembebesan lahan di Sibau Hilir. Penyelewenangan tersebut diukur dari tingkat kepatuhannya pada ketentuan-ketentuan dalam Perpres 36. Tulisan akan ditutup dengan bagian Penutup yang berisi Kesimpulan dan Rekomendasi.
B. Profil Desa Sibau Hilir
Lokasi Desa Sibau Hilir hanya berjarak ±7 km dari Putusibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan menggunakan bis, perjalanan ke desa tersebut hanya memerlukan waktu 10 menit. Desa Sibau Hilir terdiri atas 2 dusun dan 7 RT. Desa ini dihuni oleh 250 KK. Hampir semua penduduknya adalah Suku Dayak Taman, dengan Bahasa Taman sebagai bahasa sehari-hari. Mata pencharian utama penduduk Desa Sibau Hilir adalah bertani dan berkebun. Sisanya ada yang menjadi sebagai pegawai negeri.
Menurut pembagian wilayah adat, Desa Sibau Hilir berada dalam Ketemenggungan Taman Banua Sio, yang berkedudukan di Sibau Hulu. Wilayah keseluruhan Ketemenggungan Taman Banua Sio sendiri meliputi tiga desa yakni Desa Pala Pulau, Desa Sibau Hilir dan Desa Sibau Hulu.
Menurut hukum adat di Desa Sibau Hilir, penguasaan tanah berdasarkan kepemilikan dibedakan atas kepemilikan perorangan dan kepemilikan bersama (komunal). Kepemilikan perorang dibuktikan dengan tanaman yang tumbuh di atas tanah seperti karet. Tanah bersama atau tanah komunal dimanfaatkan atas kesepakatan bersama.
C. Perpres No. 36 Tahun 2005
Pada bagian ini akan ditampilkan sejumlah ketentuan dalam Perpres 36 yang relevan dengan kasus pembebasan lahan di Sibau Hilir.
Menurut Perpres 36, pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota. Panitia ini sendiri dibentuk oleh Bupati/Walikota (pasal 6 ayat 1). Panitia yang dibentuk oleh oleh Bupati/Walikota tersebut memiliki tugas sebagai berikut:
- mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang acta kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya;
- menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
- memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
- mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
- menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang ada di atas tanah;
- membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
- mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
Mengenai musyawarah yang difasilitasi oleh panitia, Perpres ini mengaturnya di dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: ”Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai : a.pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi tersebut; dan b. bentuk dan besarnya ganti rugi”.
Dengan pasal di atas maka kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi hanya dapat dilakukan lewat musyawarah. Namun, dalam hal musyawarah tidak menyepakti bentuk dan besar ganti rugi, maka ganti rugi dapat dititipkan ke pengadilan negeri (pasal 10 ayat 3).
Bentuk-bentuk ganti rugi yang diakui oleh Perpres 36 adalah:
- uang dan/atau
- tanah penganti dan/atau
- pemukiman kembali
Apabila pemegang hak tidak menghendaki 3 bentuk ganti rugi di atas maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham ) sesuai dengan ketentuan perundangan-perundangan yang berlaku (pasal 13).
D. Penyelewengan-Penyelewengan Proses Pembebasan Tanah di Sibau Hilir
Berdasarkan data-data yang digali dari masyarakat dan sumber-sumber lain, paling tidak ada 4 penyelewengan yang berlangsung dalam proses pembebesan tanah di Sibau Hilir. Keempat penyelewenangan tersebut adalah mengenai; (i) pihak yang terlibat dalam proses pembebesan; (ii) kinerja Panitia Pembebasan Tanah; (iii) ganti rugi; dan (iv) proses musyawarah. Berikut pemaparan dari keempat penyelewengan tersebut:
Pihak Ketiga
Proses pembebasan tanah untuk fasilitas Batalyon 644/Walet Sakti di Sibau Hilir telah melibatkan pihak ketiga yang bertugas memastikan terjadinya proses pembebasan tanah. Pihak ketiga tersebut adalah CV. Tri Anugerah. Perusahaan ini sendiri ditunjuk oleh Pemda Kapuas Hulu. Langkah ini tentu saja melanggar atau menyeleweng terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perpres 36 yang tidak mengenal pihak ketiga dalam proses pembesan tanah selain Panitia.
Kinerja Tim Sembilan
Pemda Kapuas Hulu telah membentuk Tim Sembilan untuk memfasilitasi proses pembebesan tanah. Tim ini sendiri beranggotan berbagai unsur antara lain:
- bupati kabupaten kapuas hulu;
- kepala badan pertanahan Kabupaten Kapuas Hulu;
- kimpraswil Kabupaten Kapuas Hulu;
- camat kecamatan Putussibau; dan
- kepala Desa Sibau Hilir.
Pada kasus Sibau Hilir, peranan Tim Sembilan dalam memfasilitasi proses penentuan musyawarah telah dibantikan oleh CV. Tri Anugerah. Begitu dominannya perusahaan ini sampai-sampai membuat Tim Sembilan tidak pernah turun bertemu dengan pemegang hak atas tanah. Praktek semacam ini tentu saja bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 Perpres 36.
Ganti Rugi
Pembebasan tanah pada kasus Sibau Hilir juga diduga telah melanggar ketentuan Pasal 13 huruf a dan hurub Perpres 36. Pelanggaran tersebut terjadi karena besaran ganti rugi yang hanya Rp. 1.500/meter. Selain itu, dari segi bentuk, ganti ruginya hanya berupa uang.
Proses Musyawarah
Tidak bekerjanya Tim Sembilan dan terlibatnya pihak ketiga telah menyebabkan proses pembebasan tanah dalam kasus Sibnau Hilir relatif absen dari proses musyawarah. Pemegang hak langsung berhadapan dengan pihak ketiga. Interaksi antara pihak ketiga dan pemegang hak bukanlah dialog. Ini misalnya terlihat dalam soal pengadaan alat bukti kepemilihan atas tanah. Pihak ketiga, dalam hal ini CV. Tri Anugerah, mendatangi sekaligus membujuk kepala desa untuk menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atas tanah-tanah yang hendak dibebaskan. Setelah berhasil membuatnya, SKT tersebut bukan malah diberikan kepada pemilik tanah melainkan memberikannya kepada CV. Tri Anugerah. Selain itu, pihak ketiga membujuk kepala desa dan kepala adat untuk meyakinkan pemegang hak agar bersedia melepaskan tanahnya.
Di samping keempat penyelewenangan atau pelanggaran di atas, kasus pembebesan tanah di Sibau Hilir juga diliputi oleh sejumlah kejanggalan lain. Kejanggalan pertama adalah mengenai sumber pendanaan untuk pembebasan tanah. Penempatan Batalyon 644/Walet Sakti di Sibau Hilir sebenarnya merupakan proyek pemerintah pusat yang ditujukan untuk keperluan pengamanan di daerah perbatasan. Luas areal yang diperlukan adalah 150 Ha yang rincian penggunaan untuk rumah sakit tentara, perumahan untuk 1.700 personil, perkantoran, rumah ibadat dan lahan untuk latihan tembak. Untuk proyek ini, komando pusat sendiri menganggarkan dana sebesar Rp 7.500.000.0001. Sedangkan anggaran pembebasan tanah dibebankan kepada APBD Kapuas Hulu. Pada tahun 2005, APBD Kapuas Hulu telah menganggarkan uang sebesar Rp. 550.000.0002 untuk pembebesan tanah. Penganggaran ini dianggap berlebihan karena Pemda Kapuas Hulu sendiri memerlukan anggaran untuk sektor vital seperti pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Berbagai penyelewenangan dan kejanggalan dalam kasus Sibau Hilri akhirnya mendorong masyarakat untuk mengambil aksi dengan melakukan demo di kantor pemerintah daerah dan kekantor DPRD kabupaten Kapuas Hulu. Salah satu yang paling dipersoalkan dalam demo tersebut adalah mengenai proses penentuan dan besarnya ganti rugi.
E. Penutup
a. Kesimpulan
Proses pembebesan tanah untuk keperluan pembangunan fasilitas batalyon 644/Walet Sakti di Sibau Hilir telah dipenuhi dengan sejumlah bentuk penyelewengan atau pelanggaran terahadap Perpres No. 36/2005. Bentuk pelanggaran atau penyelewenangan terlihat dalam rupa keterlibatan pihak ketiga dalam proses pembebesan tanah, ganti rugi, kinerja Tim Sembilan dan Proses Musyawarah. Bersamaan dengan tidak berfungsinya Tim Sembilan sebagai panitia pembebesan tanah, peran pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemda Kapuas Hulu begitu dominan. Sebagai pihak yang memenangkan tender pembebesan tanah, pihak ketiga melakukan cara paksa dan penipuan demi untuk mencapai target. Akibatnya, bukan hanya merugikan pemegang hak, namun juga menyepelekan pengurus adat Ketemunggungan Dayak Taman Banua Sio. Bukan hanya tidak dilibatkan, tumenggung bahkan tidak mengetahui persis mengenai proyek pembebesan ini.
Selain itu, saat ini proyek juga menyisakan sebuah persoalan yang belum ada solusinya. Anggaran pembebesan tanah yang telah dialokasikan Pemda Kapuas Hulu pada APBD tahun 2005 urung dicairkan. Pasalnya, Pemda Kapuas Hulu menunggu jawaban pasti dari pemerintah pusat mengenai status kepemilikan atas tanah yang dijadikan lokasi pembangunan: apakah akan menjadi aset Pemda ataukah aset TNI.
b. Rekomendasi
Dalam rangka mengusahakan perbaikan terhadap proses pembebasan tanah di Sibau Hilir, ada sejumlah rekomendasi yang layak untuk dipertimbangkan Dengan analisis yang saya paparkan diatas maka saya merekomendasikan, yakni: Pertama; merekomendasikan agar pembebasan tanah ditinjau ulang karena prosesnya berlangsung dengan sejumlah penyelewengan atau pelanggaran. Kedua, perlunya perubahan terhadap peraturan perundangan yang mengatur mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum terutama pada bagian-bagian yang memberikan peluang kepada pemerintah untuk melakukan penyelewenangan atau pelanggaran. Misalnya pelanggaran dengan mentenderkan proses pembebasan tanah kepada pihak ketiga.
1)* Surat Panglima Kodam VI/Tanjungpura, tertanggal 21 Desember 2005.
2)* Pidato pertanggungjawaban/penjelasan Bupati Kapuas Hulu dalam Pleno DPRD Kapuas Hulu pada tanggal 20 Desember 2005.