Jika membaca materi UUK No. 41/99, dikaitkan dengan kasus-kasus kehutanan yang terjadi di masyarakat adat, pasal pertama yang merupakan sumber kesalahannya adalah Pasal 1 ayat (6) yang kemudian diperkuat lagi pada pasal 5 ayat (2). Pasal 1ayat (6) memuat pengertian yang salah, karena tidak sesuai dengan realita sistem kepemilikan hutan di Masyarakat Adat. Pengertian hutan adat Pasal 1 ayat (6) sangat merugikan masyarakat. Bagaimana mungkin hutan negara bisa ada di dalam wilayah hutan masyarakat adat. Karena kalau suatu kawasan sudah ditetapkan sebagai hutan adat oleh masyarakat, jelas tidak boleh ada status hutan lainnya lagi yang bisa ada dalam kawasan hutan adat tersebut. Pengertian pasal ini juga akan membingungkan soal pengaturan hutan. Akan muncul dualisme pengaturan, yakni pengaturan hutan negara menurut aturan negara, dan pengaturan hutan adat menurut aturan masyarakat adat. Dualisme pengaturan ini justru akan berdampak negatif bagi kelangsungan hutan tersebut.
Pada umumnya Masyarakat Adat di Kalimantan Barat, melihat Hutan Adat adalah Hutan Hak, yaitu Hak Adat yang dimiliki secara bersama turun temurun, yang pengaturannya berdasarkan Hukum Adat (lihat pasal 1 ayat (5). Hutan dilihat bukan hanya sebatas nilai “ ekonomi finansial” semata seperti yang disebutkan pada pasal 67 UUK yakni pemungutan hasil, pengelolaan dan mendapatkan pemberdayaan, namun lebih jauh adalah nilai sejarah dan religinya. (suku Dayak Limbai di Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalbar, melihat kawasan Hutan di bukit Alat tidak boleh diganggu karena sebagai lambang perdamaian dua suku setelah terjadi saling membunuh).
Hutan adat tidak bisa disamakan dengan hutan negara seperti yang disebutkan pada Pasal 5 ayat (2). Karena kalau demikian, maka akan memuncul persepsi bahwa semua orang yang berkewarganegaraan Indonesia, memiliki hak untuk mengambil hutan tersebut. Jadi wajarlah selama ini terjadi kasus-kasus kehutanan. Pihak investor dengan izin pemerintah kemudian dengan seenaknya menebang kayu di Hutan adat. Mereka tidak pernah menghormati masyarakat karena menganggap dirinya telah mendapat legitimasi negara melalui izin-izin usaha.
Politik menggunakan istilah, jargon, terminologi yang diparaktekan penguasa selama orde baru, jelas menjadi kenangan buruk sejarah Indonesia. Hal ini nampaknya mau diulangi lagi oleh pemerintah melalui UUK No. 41 tahun 1999. Penetapan Status Hutan, pemakaian istilah, seperti terdapat pada pasal 1 ayat 3 sampai ayat 12 UUK 41/99 yang memakai istilah Kawasan hutan, Hutan negara, Hutan Hak, Hutan Adat, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Hutan Konservasi, Kawasan Hutan suaka alam, Kawasan hutan pelestarian alam, dan Taman baru, jelas adalah jebakan dan upaya pelemahan masyarakat. Inilah yang dalam dunia beracara disebutkan sebagai ayat-ayat bertingkat supaya si objek (Masyarakat Adat) tidak berdaya. Tidak berdaya karena dengan menggunakan istilah tersebut, masyarakat kemudian tidak memiliki argumen yang pas dan masuk akal untuk menolak penetapan Hutan dari pemerintah.
Jebakan seperti tersebut diatas terlihat ketika terjadi kasus Penebangan Kayu Masyarakat kampung Bunyau Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi (dulunya kabupaten Sintang). Kasus ini bermula dari dikeluarkannya izin Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk Kelompok Tani Bukit Kencana memakai instrumen hukum yaitu SK Bupati Kabupaten Sintang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan Melalui Permohonan Dengan Luas Maksimal 100 Hektar (lihat pasal 29 ayat 1 UUK No. 41/99, yang memberikan izin kepada Koperasi). Dalam usahanya, Koperasi ini bermitra dengan PT. Maju Karya Kita. Perusahaan ini kemudian menebang kayu di Bukit Bunyau yang merupakan hak masyarakat adat kampung Bunyau kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Setelah dicek ke Kecamatan, masyarakat Bunyau mengetahui bahwa perusahaan salah areal. Wilayah kerja mereka bukan di bukit Bunyau melainkan di Bukit Kerapas yakni bukit yang masuk dalam kawasan adat kampung Guhung Keruap, kampung domisili pemilik koperasi. Masyarakat Bunyau melakukan perlawanan dan penuntutan. Ketika melihat masyarakat menuntut dan menolak perusahaan masuk ke Bukit Bunyau yang merupakan Hutan Adat masyarakat, Pemerintah kecamatan menukung dan aparat kepolisian malah menekan masyarakat Bunyau agar mengizinkan perusahaan tetap bekerja di bukit Bunyau. Bahkan sampai empat orang masyarakat dipanggil dan diinterogasi oleh Kapolres Sintang dengan tuduhan provokator. Perjuangan masyarakat tidak surut, sampai akhirnya berhasil menghentikan aktivitas perusahaan dan menuntut perusahaan membayar kerugian atas kayu yang sudah ditebang. Masyarakat dalam hal ini mampu menunjukan bukti bahwa Hutan tersebut adalah hutan adat mereka. Bukti tersebut seperti tembawang, pengusahaan damar, batas wilayah ketemenggungan, dan sejarah. Merasa kalah argumen, peusahaan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sintang, merubah strategi dengan mengirimkan tim surveinya ke lapangan dan kemudian mematok kawasan Bukit Bunyau sebagai Kawasan Hutan Lindung. Tim survei ini kemudian membuat tanda/plang Hutan Lindung di tumpukan kayu-kayu log yang sudah ditebang perusahaan, dengan maksud agar semua urusan ganti rugi dan pembayaran kayu menjadi hak Dinas Kehutanan.
Kasus lainnya yang hampir serupa adalah masuknya PT. Merbau Sakti Tani di Wilayah Adat kampung Posin Kecamatan Kota Baru Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat1. Perusahaan ini bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di kampung Posin kecamatan Kota Baru Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Masuknya perkebunan kelapa sawit secara tegas ditolak oleh masyarakat, mengingat kawasan yang mau dijadikan perkebunan kelapa sawit adalah Hutan Adat. Dalam situasi begitu, lagi-lagi dinas kehutanan mengirim tim untuk mematok Hutan Adat kampung Posin untuk dijadikan Hutan Lindung.
Dalam dua kasus diatas, kalau mau direntetkan seperti berikut: tidak mempan dengan izin HPH karena ditolak masyarakat, maka dipakailah istilah Hutan Lindung, Hutan Konservasi, Hutan Suaka Alam dst. Kalau memakai istilah Hutan Lindung atau Taman Nasional, masyarakat tidak lagi memiliki argumen yang ampuh. Soalnya, Melindungi Hutan Kok...ditolak? Tapi celakanya, setelah masyarakat menyerah, maka kemudian pemerintah membuat kebijakan yang membolehkan Perusahaan HPH dan Tambang di hutan Lindung atau Taman Nasional tersebut. (sebagai bukti nyata adalah bisa dilihat proses keluarnya Perpu nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dimana isinya menambah ketentuan baru pada UUK 41/99, yaitu pasal 83 (a) dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) berbunyi; semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian di maksud”).
Pencaplokan Hutan Adat dengan dalih hutan lindung ini terjadi karena peluang yang diberikan pasal 26 ayat (1) dan (2) UUK No. 41/99 yang didukung lagi pasal 4 ayat (2) huruf b. Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa di hutan lindung dapat diberikan izin pemungutan hasil hutan non-kayu. Dan pasal 4 ayat (2) huruf b, menyebutkan bahwa pemerintah berwenang menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan. Pasal inilah yang menginspirasikan pemerintah dikemudian hari merubah fungsi hutan, dari hutan konservasi atau hutan lindung menjadi hutan Produksi atau lainnya sesuai pesanan investasi (lihat pasal 6 ayat (1) dan (2). Hal ini jelas sekali terlihat pada kasus bunyau, yang mana pada kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Dinas Kehutanan, ternyata di kemudian hari datang Tim survei yang mengaku dari dinas pertambangan melakukan eksplorasi tambang batu bara di kawasan hutan lindung tersebut. Kemudian, hal yang berhubungan dengan PENGUASAAN HUTAN OLEH NEGARA nampaknya menjadi bagian yang signifikan berkontribusi terhadap kasus kehutanan di Kalimantan Barat yang diusung oleh UUK No. 41/99. Hal ini bisa terlihat pada pasal 4 ayat (1) dan (2). Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian pada pasal 4 ayat (2) dijabarkan lagi bahwa Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk: a; mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. b; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, c;mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Kewenangan pada pasal 4 ini kemudian yang dijabarkan pada pasal-pasal berikutnya seperti pasal 5 ayat (3), Pasal 8 (1), Pasal 18 (1) pasal 31 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), pasal 35 (4), Pasal 38 (5), Pasal 39, Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 (3), Pasal 45 (4), Pasal 48 (6), Pasal 50 ayat (3) huruf g, Pasal 58, Pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 (1), Pasal 67 ayat (2) dan (3), pasal 68 ayat (4), Pasal 70 (4), Pasal 79 ayat (3), Pasal 80 ayat (3).
Sederetan pasal ini menunjukan bahwa negara lewat pemerintah terlalu bernafsu. Terlalu besarnya wewenang pemerintah dalam bidang kehutanan yang diberikan melalui UUK 41/99, memicu sikap arogansi aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pemerintah baik Pusat maupun daerah kemudian dengan seenaknya tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam, mengeluarkan banyak izin HPH. Tahun 2002 menurut data APHI, di kalbar terdapat 36 perusahaan HPH. Menurut data dari Forest World, sampai 2004, sisa hutan Kalbar sekitar 5.693.402 Ha. Sementara data dari Dinas Kehutanan kalbar, sisa hutan sampai tahun 2004 sekitar 600.000 Ha. Dan hutan yang habis sepanjang tujuh tahun terakhir ini sudah sekitar 2.202.885 Ha. Banyaknya izin yang dikeluarkan pemerintah kepada perusahaan untuk mengeksploitasi hutan, menyebabkan parahnya kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat. Dampak yang telah dirasakan adalah Banjir terjadi hampir disemua pelosok Kalimantan Barat sejak tahun 2000.
Banyak izin perusahaan HPH yang dikeluarkan oleh pemerintah, menyebabkan masyarakat adat resah. Sehingga dengan prinsip “daripada kayu kita ditebang oleh perusahaan HPH, lebih baik kita tebang sendiri”. Masyarakat kemudian bekerjasama dengan para cukong dari negara Malaysia, terjadilah penebangan hutan, yang menurut bahasa pemerintah disebut dengan Illegal Logging.
Besarnya kewenangan pemerintah yang diberikan lewat pasal 4 UUK 41/99, juga yang membuat Pemerintah Kabupaten berlomba mengeluarkan kebijakan. Salah satunya adalah kebijakan HPHH 100 Ha yang diberikan kepada Koperasi. Berdasarkan data yang dimuat Majalah Kalimantan Review no. 97/September 2003, terdapat 944 unit HPH 100 Ha. Artinya terjadi penebangan hutan seluas 94.400 Ha setiap tahunnya oleh HPHH. Wajar saja, hasil analisis JICA (Japan International Corporation Agency) memperkirakan kayu di Kalbar akan habis tahun 2019, bahkan mungkin lebih cepat.
Kegagalan pengelolaan di bidang kehutanan selama ini justru karena pemerintah merasa dirinya ingin mengatur semuanya. Padahal orang-orang pemerintah tidak memiliki kapasitas dan pengetahuan yang baik dibidang kehutanan terutama dalam hal memahami hukum lokal tentang hutan. Masyarakat adat yang sebenarnya memiliki aturan yang jelas tentang hutannya tidak mendapatkan tempat yang memadai dalam UUK 41/99 ini. Kalaupun ada beberapa pasal yang memberikan peluang kepada masyarakat, namun tetap berupa pasal bersyarat seperti contohnya terdapat dalam pasal 68 ayat (3) dan (4), yang selalu diakhiri dengan kalimat;” harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 ayat 4, pasal 67 ayat (1) dan (2), juga menunjukkan sikap pemerintah yang sebenarnya tidak tulus terhadap keberadaan masyarakat adat. Bahkan lebih jauh bisa dikatakan negara berkeinginan agar masyarakat adat itu punah. Keinginan tersebut diwujudkan lewat peraturan perundang-undangan, bukan hanya UUK. Semua peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata memuat agenda pemusnahan masyarakat adat.
Berikut ini adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat yang terjadi karena penyalahgunaan kewenangan. Kasusnya bermula dari PT. Bruwi (Bumi Raya Utama Wood Industries) masuk ke dalam wilayah dusun nanga Awin untuk melakukan kegiatan penebangan kayu tanpa permisi dan tanpa musyawarah sama sekali dengan masyarakat setempat, yaitu masyarakat dusun Nanga Awin kabupaten kapuas Hulu. Penebangan kayu yang membabi buta bahkan menebang sampai ditepi ladang masyarakat RT 04 Landau Ipoh-dusun Nanga Awin. Di antara kayu-kayu yang ditebang tersebut bahkan ada yang menimpa ladang masyarakat RT.04 Landau Ipoh. Perbuatan PT. Bruwi tersebut telah membangkitkan emosi masyarakat dusun Nanga Awin. Tanggal 14 Februari 2004, masyarakat bersama-sama menemui pimpinan PT. Bruwi di camp Seluan dengan maksud menanyakan izin kerja PT. Bruwi selama ini. Ternyata PT. Bruwi Seluan berkerja berdasarkan SK. Bupati Kapuas Hulu Nomor. 15 Tahun 2003. Setelah dibaca pada saat yang bersamaan, ternyata SK Bupati tersebut berakhir pada tanggal 31 Desember 2003. Sedangkan PT. Bruwi masih terus bekerja sampai tanggal 13 Pebruari 2004. Artinya selama 2 bulan lebih PT. Bruwi bekerja tanpa izin. Melihat kenyataan ini, pada tanggal 14 Februari, masyarakat dusun Nanga Awin menutup perusahaan tersebut. Mengingat PT. Bruwi masih bekerja di Luar waktu yang ditentukan dalam SK. Bupati Kapuas Hulu, selanjutnya, masyarakat dusun Nanga Awi mengajukan beberapa tuntutan kepada pihak PT. Bruwi. Sebagai jaminan atas tuntutsan masyarakat tersebut, maka masyarakat membawa beberapa alat kerja PT Bruwi ke dusun Nanga Awin, dengan disertai berita acara penyerahan ala-alat kerja tersebut. Oleh Pimpinan Camp PT. Bruwi Seluan diperintahkan beberapa karyawannya untuk membawa langsung alat-alat kerja tersebut turun ke Nanga Awin sebagai Sopirnya. Setelah berselang sepuluh hari, belum juga ada tanggapan dari pihak PT. Bruwi terhadap tuntutan masyarakat dusun Nanga Awin, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Maka untuk kedua kalinya masyarakat dusun Nanga Awin datang ke Camp PT. Bruwi di Seluan untuk menemui Pimpinan Camp PT. Bruwi setempat, setelah terlebih dahulu mengirimkan surat pemberitahuan tertanggal 21 Februri 2004. Ternyata Pimpinan Camp PT. Bruwi tidak berada ditempat dan yang ada disitu hanya beberapa orang karyawan dan kontraktor. Pada hari itu juga yaitu pada tanggal 2 maret 2004 masyarakat dusun Nanga Awin membawa turun lagi beberapa alat kerja PT. Bruwi sebagai pertanggungjawaban tuntutan masyarakat dusun Nanga Awin sebagaimana seperti yang telah ditulis dalam surat pemberitahuan yang sudah dikirim sebelumnya. Oleh staf setempat, yaitu bagian humas dikatakan bahwa sebagian besar karyawan, khususnya sopir alat-alat berat sudah pulang dari kamp di Seluan, maka masyarakat dusun Nanga Awin membawa sendiri alat-alat kerja tersebut turun ke Nanga Awin atas sepengetahuan staf setempat dan kontraktor. Penurunan alat-alat berat tersebut disertai dengan berita acara penyerahan. Pada hari itu juga secara kebetulan ada beberapa orang masyarakat dusun Nanga Awin menemukan tumpukan berkas koperasi Serba Usaha (KSU) dalam kardus sampah yang sudah dibuang atau mungkin akan dibakar. Diduga, PT. Bruwi selama ini bekerja menggunakan koperasi dan hal ini juga sesuai dengan informasi yang masyarakat peroleh saat itu. Hasil pemantauan masyarakat dusun Nanga Awin pada kawasan hutan tempat PT. Bruwi bekerja juga dilengkapi dengan data penunjang (foto). Dari situ dapat dilihat kerusakan hutan pada kawasan tersebut sudah sangat memprihatinkan dan sangat sulit untuk mengembalikannya seperti pada keadaan semula. Berdasarkan surat Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan tanggal 28 Juli 2003 Nomor 634/VI-PHA/2003, maka masyarakat dusun Nanga Awin menyusun tuntutan terhadap PT. Bruwi sesuai dengan peraturan yang berlaku, dimana PT. Bruwi tidak memiliki hubungan hukum dengan hutan karena yang bersangkutan bukan sebagai pemegang HPH definitif2.
Walaupun kasus ini telah dianggap selesai dengan dibayarnya kompensasi kepada masyarakat dusun Nanga Awin sebesar Rp 200.000.000,- termasuk beberapa kesepakatan lainnya melalui surat kesepakatan bermatrai tanggal 16 Agustus 2004, namun tetap saja menyisakan beberapa hal yang perlu digarisbawahi jika dikaitkan dengan UUK 41/99:
- PT. Bruwi masuk tanpa musyawarah dengan masyarakat Nanga Awin.
Ini adalah sikap arogan dan pelecehan terhadap masyarakat Nanga Awin yang secara turun temurun punya hak atas hutan di situ. Sikap ini muncul karena perusahaan merasa memiliki izin berupa SK. Bupati Kapuas Hulu Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Buku Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan Tahun 2003. Keluarnya izin ini karena kesalahan UUK 41/99 pasal 4 ayat 2, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menguasai hutan, tanpa memisahkan urusan hutan negara dan hutan yang menjadi hak masyarakat adat. Kesalahan ini diperkuat pasal pasal 5 ayat 2 UUK yang menyamakan Hutan adat dengan Hutan Negara. Pasal yang menyebutkan Hutan Negara dapat berupa Hutan Adat, selalu digunakan sebagai argumentasi oleh pihak perusahaan ketika berhadapan dengan masyarakat. Padahal jelas Hutan Adat itu bukan hutan negara. Hutan adat masyarakat telah memiliki aturan pengelolaan yang telah disepakati di masyarakat adat itu secara turun temurun. Jadi ketika negara (pemerintah) memberikan izin tanpa bermusyawarah dengan masyarakat, jelas akan terjadi benturan. Usulan kedepan, mesti ada pembedaan antara hutan adat dan hutan negara, baik soal statusnya maupun pengelolaannya. Hutan negara dikelola negara, hutan adat dikelola berdasarkan aturan masyarakat adat.
- PT. Bruwi bekerja di luar izin:
PT. Bruwi Seluan berkerja berdasarkan SK. Bupati Kapuas Hulu Nomor. 15 Tahun 2003, yang sebenarnya berakhir pada tanggal 31 Desember 2003. Sedangkan PT. Bruwi masih terus bekerja sampai tanggal 13 Pebruari 2004. Artinya selama 2 bulan lebih PT. Bruwi bekerja tanpa izin. Terjadinya hal ini karena Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tidak melaksanakan kewajiban pengawasannya seperti yang disebutkan pada pasal 60 ayat (1) UUK no. 41 tahun 1999.
- Terjadi penyalahgunaan kewenangan:
Terlihat pada kasus Penerbitan SK RKT tahun 2002 atas nama PT. Bumi Raya Utama Wood Industries (PT. BRUWI), dan pengesahan RKT-PH No. 15 tahun 2003 dengan luas 1.300 Ha oleh Bupati Kapuas Hulu yang sebenarnya bukan kewenangannya. Hal ini bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 6652/Kpts-II/2002 tanggal 4 Juli 2002 dan Keputusan Menteri kehutanan No. 16/Kpts-II/2003 tanggal 8 Januari 2003 yang tidak memberikan kewenangan kepada Bupati untuk menerbitkan atau mengesahkan RKT-PH. Hal ini disebutkan dalam Surat Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta, 28 Juli 2003. Penyalahgunaan kewenangan oleh Bupati ini tidak mendapatkan sanksi apapun, sehingga akan terus terjadi penyalahgunaan kewenangan berikutnya.
Kasus PT. BRUWI hanyalah salah satu contoh nyata tabiat buruk perusahaan pemegang izin HPH. Tabiat seperti ini juga dipraktekan oleh perusahaan HPH lain di Kalimantan Barat. Kenyataan ini tidak terlepas dari kesalahan UUK tahun 41/99 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menerbitkan berbagai izin eksploitasi hutan dan penetapan status hutan secara sepihak.
Usulan perbaikan substansi UUK 41/99:
- Harus ada pemisahan antara Hutan Adat dengan Hutan negara.
- Pengaturan hutan oleh negara cukup terhadap hutan negara saja. Terhadap Hutan adat, pengaturan berdasarkan aturan adat masyarakat yang memiliki hutan tersebut.
- Untuk membedakan Hutan Adat dan Hutan negara, maka negara mesti memfasilitasi masyarakat untuk melakukan pemetaan partisipatif terhadap wilayah Hutan Adat mereka.
- Dalam hal negara berkepentingan dengan Hutan Adat masyarakat, maka negara (pemerintah) harus terlebih dahulu musyawarah dengan masyarakat. Artinya pemerintah harus memenuhi aturan-aturan berdasarkan hukum adat.
1)* Penuturan pak Sukuwanto dan pak Rusli masyarakat kampung Posin kecamatan Tanah Pinoh Kabupaten Melawi tanggal 5 Oktober 2004
2)* Kronologis dibuat bersama oleh pemuka adat dan pemuka masyarakat Dusun Nanga Awin, Pak Semar dan Imbal, dan Pak Merayang, tgl 10 Maret 2004.