Perwakilan masyarakat adat dari ketiga kampung tersebut terdiri dari Kepala Desa (Tapang Semadak), Perangkat Desa, Kepala Dusun (Tapang Kemayau), Pengurus Adat, Tokoh Masyarakat Adat, Pemuda Adat, Perempuan Adat dan beberapa Pengurus Organisasi Masyarakat Adat. Dialog dengan Pemda Sekadau ini bertujuan untuk menyampaikan hak-hak mereka atas hutan adat bagi masyarakat adat Tapang Sambas – Kemayau dan wilayah adat bagi masyarakat adat Kampung Cenayan. Hutan Adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau luasnya mencapai 38,79 hektar, sedangkan luas Wilayah Adat Kampung Cenayan 6.505,41 hektar. Mereka meminta Pemda Sekadau mengakomodir dan melindungi hak-hak mereka di dalam Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sekadau. Dan agar Pemda Sekadau bersedia mengeluarkan Surat Keputusan Bupati tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak-hak mereka atas Hutan (Rimba) Adat dan Wilayah Adat.
Kedatangan perwakilan masyarakat adat dari ketiga kampung tersebut disambut oleh Kepala BAPPEDA Kabupaten Sekadau. Sehingga pertemuan pun langsung dilakukan di ruang rapat kantor BAPPEDA. Selain dihadiri Kepala Bappeda juga hadir instansi Pemerintahan Kabupaten Sekadau lainnya, yakni Dinas Kehutanan, Kantor Badan Pertanahan Nasional, Bagian Hukum dan HAM, Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup dan juga Camat dari Kecamatan Sekadau Hilir serta Kecamatan Nanga Mahap. Acara dialog yang di fasilitasi oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sekadau, dengan didampingi Kepala Bidang Perencanaan di Bappeda, Bagian Hukum dan HAM, serta satu orang perwakilan masyarakat adat Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan berlangsung kurang lebih 4 (empat) jam.
Alasan Pengakuan dan Perlindungan Hukum atas Wilayah dan Hutan Adat
Setelah kata pengantar dan sambutan dari Kepala Bappeda Kabupaten Sekadau, maka Kepala Bappeda meminta kepada perwakilan dari masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan untuk mempresentasikan profil wilayah adat masing-masing. Berdasarkan hasil presentasi tentang profil singkat wilayah adat tersebut, maka ada beberapa poin yang menjadi alasan bagi masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan untuk meminta Pemda Sekadau agar mengakui dan melindungi hak-hak mereka atas wilayah adat di dalam Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sekadau.
Poin-poin dari alasan tersebut antara lain, bahwa wilayah adat termasuk di dalamnya hutan adat beserta isinya bagi masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan merupakan sumber segala sumber hidup, seperti sumber air bersih, tempat mandi, menahan tanah longsor, sumber udara bersih, sumber ekonomi, tempat wisata, tempat mikro hidro dan lain sebagainya. Untuk itu, wilayah (hutan) adat beserta isinya perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari dan keberlanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat adat (rakyat), seperti dimandatkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Praktik pengelolaan dan pemanfaatkan wilayah (hutan) adat beserta isinya oleh masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan, tetap berpedoman pada aturan (hukum) adat yang masih berlaku secara turun-temurun. Keberadaan berbagai praktik pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat beserta isinya tersebut, dikenal dengan berbagai istilah lokal mereka, seperti, tempat untuk be-uma-betaun (ladang), uma payak, uma sawah, temawang, tanah mali (keramat), tanah kuburan, tempat berburu, tempat menangkap ikan, dan lain sebagainya. Praktik secara turun-temurun tersebut di atas menunjukan bahwa masyarakat adat Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan memiliki sistem tata ruang sendiri dalam mengelola wilayah (hutan) adat beserta isinya. Pola-pola ini sangat dinamis, terpadu sehingga menghasilkan berbagai manfaat bagi mereka dan lingkungan secara berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial budaya, ritual adat (religi), dan kelestarian lingkungan.
Keberadaan masyarakat adat Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan beserta hak-hak tradisional atas wilayah adat, diakui dan dihormati dalam Pasal 18b ayat (2) UUD 1945. Pengakuan hak-hak mereka atas wilayah adat beserta isinya juga diakui dan dihormati di dalam berbagai peraturan Per-Undang-Undangan lainnya, seperti UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pasal 2 ayat (4) dan pasal 5; UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (1-4), pasal 37 ayat (1) dan pasal 67; UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999, pasal 6; dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 angka (12) dan pasal 2 angka (9). Begitu juga dalam hal penataan ruang bahwa Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 65 ayat (1) memandatkan masyarakat diberi kesempatan untuk berperan dalam penataan ruang. UU Penataan Ruang juga memberikan peluang pada terwujudnya pengakuan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan. Pasal 48 ayat (1) butir (d) UU Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk pelestarian warisan budaya local; dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Walaupun secara konstitusi nasional keberadaan mereka beserta hak-hak tradisionalnya dilindungi dan diakui, namun kenyataan dilapangan muncul ijin-ijin investasi skala besar yang mengancam hak-hak mereka tersebut. Seperti yang dialami masyarakat adat Tapang Sambas – Kemayau di mana Hutan Adat mereka yang telah dijaga secara turun-temurun, kini keberadaannya “seperti telur diujung tanduk” karena dikeliling dan perluasan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Begitu juga halnya dengan masyarakat adat Kampung Cenayan, bahwa wilayah adat, khususnya Hutan Adat mereka, ternyata secara sepihak oleh Pemerintah telah dijadikan kawasan hutan lindung. Penetapan Hutan Lindung tersebut, telah mengurangi, bahkan menghilangkan hak mereka untuk mengakses wilayah adat beserta isinya.
Dalam rangka mengetahui dan memperjelas tata batas, luas wilayah adat, maka masyarakat adat Kampung Tapang Sambas-Kemayau telah melakukan pemetaan partisipatif pada tahun 1996, dan Kampung Cenayan telah memetakan wilayah adat secara partisipatif pada tahun 2001. Pemetaan wilayah adat tersebut merupakan mandat dari UU Penataan Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007.
Tuntutan Masyarakat Adat Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan
Berdasarkan alasan-alasan di atas, masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan meminta Pemda Sekadau, yakni: pertama, Agar Pemda Kabupaten Sekadau mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Atas Hutan Adat bagi Masyarakat Adat Tapang Sambas – Kemayau dan Wilayah Adat bagi Masyarakat Adat Kampung Cenayan; Kedua, Agar Pemda Sekadau mengakomodir Model Pengelolaan Hutan Adat Tapang Sambas – Kemayau dan Wilayah Adat Kampung Cenayan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sekadau; Ketiga, Agar Pemda Sekadau mendukung usaha-usaha masyarakat adat Tapang Sambas, Kemayau dan Cenayan dalam mengembangkan perkebunan karet rakyat, pertanian organic (sawah dan ladang), peternakan, perikanan, air bersih; dan Keempat, Agar Pemda Sekadau memposisikan diri sebagai fasilitator dalam menyelesaikan konflik tanah dan sumber daya alam yang terjadi di masyarakat adat.
Tanggapan Pemda Sekadau
Atas tuntutan masyarakat adat tersebut di atas, Pemda Sekadau melalui Kepala Bappeda mengatakan bahwa apa yang disampaikan atau yang dituntut masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan merupakan program Pemerintah Kabupaten Sekadau, yang akan dijadikan pedoman dalam menyusun Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sekadau. Pemda Sekadau sekarang sedang mengidentifikasi dimana saja wilayah masyarakat adat yang hutannya masih relatif utuh, hasil dari identifikasi tersebut akan dijadikan Pemda Sekadau sebagai bahan dalam menyusun kebijakan daerah mengenai hutan adat. Mungkin untuk jelasnya mengenai keberadaan hutan adat, kita minta kepada Dinas Kehutanan untuk menyampaikan kegiatan-kegiatan mereka berkaitan dengan wilayah atau hutan adat.
Selain itu, Kepala Bappeda Sekadau juga berharap kepada para Kepala Desa di wilayah masing-masing agar dapat membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang wilayah atau hutan adat. Karena Kepala Desa sangat memahami dan mengerti apa yang diinginkan oleh warga di wilayah yang dipimpin oleh Kepala Desa tersebut. Kalau Kepala Desa bersama BPD sudah membuat Perdes, maka Perdes tersebut dapat diajukan ke Pemerintahan Kabupaten Sekadau melalui Bagian Hukum Dan HAM di Pemerintahan Kabupaten Sekadau. Perdes tersebut menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Sekadau dalam menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Sekadau tentang Wilayah atau Hutan Adat.
Begitu juga dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Sekadau yang mengatakan bahwa mereka telah melakukan indentifikasi dengan cara mengambil titik-titik GPS terhadap hutan adat milik masyarakat adat di Kabupaten Sekadau. Terdapat 46 lokasi hutan adat di Kabupaten Sekadau yang sudah diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sekadau, dengan luas 750,5 hektar. Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Kehutanan Kabupaten Sekadau, bahwa luas Hutan Adat Tapang Sambas – Kemayau 39 hektar, sedangkan luas Hutan Adat Kampung Cenayan 30 hektar. Hasil identifikasi tersebut akan dijadikan Pemerintah Kabupaten Sekadau untuk membuat Peraturan Daerah tentang Hutan Adat di Kabupaten Sekadau.
Akhir dari dialog tersebut, Pemda Sekadau melalui Kepala BAPPEDA berjanji akan membuat risalah dari pertemuan yang memuat tuntutan dari masyarakat adat Kampung Tapang Sambas – Kemayau dan Cenayan tersebut di atas. Selain itu, risalah pertemuan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yakni Kepala Bappeda, Dinas Kehutanan, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sekadau, Kepala Desa Tapang Semadak, Kadus Tapang Sambas – Kemayau dan Tokoh dan Pengurus Adat Kampung Cenayan.