Selain di Kabupaten Kapuas Hulu, FFI juga membuat MoU dengan Pemkab Ketapang yang lokasi proyeknya di Sungai Putri. Kemudian, proyek bertitel “Forest and Climate Change Programme (ForClime) yakni, kerjasama bilateral pemerintah Indonesia dan Jerman juga telah melaksanakan proyeknya di Kalbar. Proyek ini berlokasi di kabupaten Kapuas Hulu tepatnya di Danau Siawan-Belidak dengan konsep Restorasi Ekosistem (RE) dan di sekitar zona penyangga TN Danau Sentarum, dengan tagline Community Carbon Pool (Karbon Hutan Masyarakat Milik Bersama).

Kenyataan tersebut diatas, tidak luput dari pantauan beberapa NGO di Kalbar termasuk Lembaga Bela Banua Talino. LBBT yang sudah bekerja sejak tahun 1993 di beberapa Komunitas di Kabupaten Kapuas Hulu merasa memiliki tanggungjawab moral untuk menjelaskan kepada komunitas tersebut informasi-informasi baru termasuk REDD. Hal ini menjadi penting untuk memastikan bahwa REDD tidak menjadi masalah baru diantara masalah yang sudah ada di masyarakat saat ini. Untuk bisa menjelaskan REDD, LBBT berusaha untuk mempelajari, memahami dan mengerti seluk beluk tentang isu dan aktivitas REDD.

Maka kemudian dengan dukungan “the samdhana institute” dan bekerjasama dengan HuMa Jakarta, LBBT berkesempatan untuk melakukan beberapa aktvitas untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami tentang REDD. Setidaknya ada dua program sebagai media belajar dan meningkatkan pemahaman aktivis LBBT dalam isu tersebut yakni program “Membangun Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat dalam Menyikapi REDD dan Perubahan Iklim” dan program ”Meningkatkan Peranserta Multipihak dalam Mendukung Upaya Mengurangi Emisi Karbon dan Deforestasi”.

Melalui dua program tersebut, LBBT melakukan berbagai aktivitas mulai dari studi, diskusi kampung, diskusi multistackholder di tingkat kabupaten, diskusi di tingkat propinsi dan kegiatan-kegiatan talkshow baik di Radio maupun di Televisi.

Ada tiga studi yang dilakukan LBBT yakni, Pertama: “Studi tentang Kerentanan Hak-hak Masyarakat Adat atas Hutan pada Lokasi Demonstration Activities REDD”. Kedua; Studi mengenai Pemenuhan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kerangka Hukum dan Kelembagaan Pelaksanaan Demonstration Activities REDD di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat”. Ketiga; Studi mengenai Kesiapan dan Kerentanan Sosial Masyarakat Adat/Lokal Dalam Skema Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia”. Kesemua studi dilakukan di kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat tepat di Sungai Utik, Desa Meliau, dan Jelemuk.

Diskusi kampung tentang isu perubahan iklim dan aktivitas proyek REDD dilakukan di Sungai Utik dan Meliau Kabupaten Kapuas Hulu. Diskusi ini melibatkan masyarakat (warga) kampung. LBBT juga telah memfasilitasi Focused Group Discussion tentang Isu perubahan iklim dan REDD di empat kabupaten yakni kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten sekadau, Kabupaten Melawi dan kabupaten Ketapang. FGD ini dihadiri oleh berbagai pihak yakni Pemerintah, Masyarakat, Tokoh Adat, NGO, Media dan akademisi.

Dari berbagai aktivitas yang dilakukan LBBT bersama masyarakat mulai dari Studi, diskusi kampung, diskusi multistackholder, dan talkshow, diperoleh setidaknya 15 fakta lapangan yang selayaknya menjadi Pembelajaran semua pihak yang menekuni isu REDD secara khusus di Kalimantan Barat.


Dampak Perubahan Iklim sudah dirasakan oleh Masyarakat

Dampak Perubahan Iklim sudah terasa oleh masyarakat. Musim yang tidak menentu telah mengganggu siklus perladangan di Masyarakat. Kekeringan panjang lebih dari lima bulan pada tahun 2009 adalah kenyataan yang aneh bagi beberapa komunitas. Hal ini membuat mereka Gagal Panen, tangkapan ikan yang berkurang, transportasi sungai terganggu, musim buah terganggu, dan muncul berbagai hama yang mengancam keberadaan tanaman masyarakat. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, petani di beberapa kabupaten seperti Ketapang, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu harus mengalami kegagalan panen akibat serangan Hama Belalang yang dahsyat. Begitupun dengan bencana Banjir. Koran-koran local telah memberitakan banjir yang menenggelamkan kota Sambas, Sanggau, sosok, Landak, Nanga Pinoh, Sintang dan Putusibau. Semua ini adalah dampak dari Perubahan Iklim.


Kearifan Masyarakat yang diabaikan

Dampak perubahan iklim memang sudah dirasakan oleh masyarakat. Namun masyarakat punya caranya sendiri untuk mengatasi dampak perubahan iklim tersebut. Orang di Sungai Utik misalnya, mengalihkan system perladangannya dari tanah kering ke lahan basah pada musim kemarau panjang. Ketika musim normal, mereka kembali ke system perladangan yang mereka jalankan turun temurun. Mereka juga semakin memperketat peraturan tentang hutan dan sumberdaya alam bukan hanya bagi pihak luar seperti HPH, tambang, perkebunan sawit dan sejenisnya tapi juga terhadap warga sungai Utik itu sendiri. Mereka meyakini bahwa jika hutan dan lingkungan sekitar rusak, maka akan menimbulkan bencana alam dan berbagai bentuk kemurkaan alam lainnya. Hal serupa sebenarnya tidak hanya terjadi di Sungai Utik, tapi juga di tempat lainnya. Namun, apa yang dipikirkan oleh masyarakat tersebut tidak pernah menjadi perhatian orang luar. Penolakan masyarakat terhadap HPH, perkebunan sawit, Pertambangan sering justru dianggap menentang pembangunan oleh pememrintah. Padahal, upaya menyelamatkan hutan dan sumberdaya alam adalah bagian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.


REDD: Tidak mau belajar dari masyarakat

Sejarah dan pengalaman panjang masyarakat adat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan telah membuktikan, bahwa mereka adalah pelaku konservasi sejati. Perilaku peduli terhadap alam terutama hutan,bukanlah semata didorong oleh rasa cinta lingkungan an-sich, melainkan didasari oleh perilaku hidup turun-temurun dibalut oleh keyakinan socio-religius-magis yang kental dengan hutannya. Kenyataan di kalbar membuktikan bahwa hutan yang masih tersisa berada di wilayah adat masyarakat. Namun kenyataan tersebut tidak mendapat perhatian. Pihak-pihak tertentu muncul dan mengajari masyarakat tentang bagaimana menjaga hutan. Mereka kemudian membuat skema mitigasi dan adaptasi berdasarkan pikiran mereka sendiri yang terkadang bukan hanya tidak mampu menjawab situasi yang sebenarnya di masyarakat namun bahkan memojokan posisi masyarakat sebagai pihak yang mengancam keberadaan hutan.


Penjelasan REDD Tidak Tuntas

Masyarakat yang tinggal di kampung sebagaian besar tidak mengetahui apalagi memahami berbagai skema yang dikembangkan dalam merespon isu Perubahan Iklim. Termasuk juga tentang REDD. Salah satunya disebabkan tidak memadainya penyebaran dan penjelasan tentang hal tersebut. Sejak mulainya aktivitas untuk mengadakan DA REDD tahun 2008, masyarakat adat di Sungai Utik dan Meliau sama sekali tidak mendapat informasi mengenai proyek tersebut, setidaknya sampai tahun 2010. Kunjungan yang dilakukan oleh pemrakarsa DA ke Sungai Utik, tidak menjelaskan secara rinci bagaimana posisi hak-hak masyarakat atas hutan yang dijadikan lokasi percontohan REDD. Justru Informasi yang diterima oleh masyarakat banyak berkisar keuntungan finansial semata.


Miskin Pelibatan Masyarakat

Dalam semua rangkaian ujicoba perubahan iklim baik yang berbasis pasar (Voluntary based) yang diusung oleh FFI dan Macquarie Capital Group Limited, maupun yang menggunakan pendekatan pasar wajib (Compliance /Mandatory Based) yang pakai oleh kerjasama bilateral Indonesia-Jerman, belum menyentuh masyarakat adat secara utuh. Belum ditemukan dokumen yang mampu menjelaskan adanya pelibatan masyarakat adat secara substantif baik dalam hal perencanaan, maupun pelaksaanaan Proyek ujicoba REDD. Dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab Kapuas Hulu dan Fauna and Flora International (FFI) serta Macquarie Capital Groups Limited yang ditanda tangani pada tanggal 22 Agustus 2008, masyarakat Adat yang menjadi sasaran Proyek ini tidak menjadi para pihak dalam MOU itu. Hal ini sangat mengherankan!


REDD tanpa FPIC

DA REDD dilakukan tanpa FPIC. Hal ini tampak pada proyek-proyek REDD di Kabupaten Kapuas Hulu yang telah menandatangani MOU sebelum melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang menjadi Sasaran Proyek REDD. Sebagai contoh Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab Kapuas Hulu dan Fauna and Flora International (FFI) serta Macquarie Capital Groups Limited, telah ditandantangani tanggal 22 Agustus 2008 namun baru melakukan sosialisasi pada tahun 2010. Pengakuan masyarakat Sungai Utik, Meliau dan Jelemuk memperkuat hal ini. Masyarakat tidak mendapatkan penjelasan yang memadai tentang proyek yang akan dilakukan.


REDD Mengabaikan Hak-hak Masyarakat Adat

Kepala Desa Batu Lintang dan Melemba pernah mengikuti sebuah pertemuan tentang Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan High Conservation Value forest (HCVF) dan REDD di Putussibau, di mana salah satu sesinya membahas mengenai proyek DA oleh FFI. Namun, penjelasan yang diberikan oleh FFI berdasarkan keterangan kedua Kades tersebut hanya berkisar mengenai bagaimana proyek dilaksanakan dan perhitungan uang yang akan didapat masyarakat. Tidak satupun presentasi yang menyinggung hak-hak masyarakat adat dalam proses DA.


REDD dipaksakan

Pelaksanaan REDD terkesan seperti memasarkan sebuah produk. Berbagai strategi dilakukan asalkan proyek REDD bisa dilaksanakan. Sebuah lembaga yang pada awalnya menggunakan Community Carbon Pool di sekitar danau Sentarum, beralih menggunakan skema Hutan Desa. Bahkan perkembangan terkini telah memiliki konsesi di Siawan-Belida dan telah terlibat aktif mendorong lahirnya sebuah perusahaan pengelola yaitu PT. Wahana Hijau Nusantara (WHN). Selanjutnya, FFI melakukan aktifitas serupa di Kapuas Hulu, dengan lokasi uji coba di Danau Siawan-Belida dan menggunakan alas hak ijin restorasi ekosistem dari Menteri kehutanan untuk eks HPH PT.Trikaka. Padahal, banyak pengakuan dari masyarakat bahwa pemberian izin HPH tersebut tanpa melalui mekanisme dan pelibatan yang utuh dari masyarakat setempat. Kenyataan ini menunjukan bahwa pemrakarsa REDD tidak lagi mempertimbangkan keberadaan masyarakat, namun lebih mementingkan tujuannya semata yakni bagaimana DA REDD bisa direalisasikan.


REDD = uang

Masyarakat sering membincangkan seputar uang yang dihasilkan oleh proyek REDD. Pemaknaan masyarakat yang hanya berkutat pada uang, terindikasi kuat akibat asupan informasi yang disampaikan oleh Pemda dan pemrakarsa DA yang terus menerangkan bahwa REDD adalah jalan terbaik saat ini untuk mendapat keuntungan finansial, dan pada saat yang sama hutan tetap terjaga. Karena disetiap kesempatan, pemrakarsa dan aparatus pemerintah terus mendengungkan nominal-nominal yang bagi orang kampung membelalakan mata. Urusan nominal seperti yang kerap disuarakan oleh Pemda dan Pemrakarsa, memang memberi harapan yang luar biasa pada proyek ini. Nilai uang hasil transaksi karbon seperti yang kerap disuarakan, bagi masyarakat di Sungai Utik dan Meliau sangat luar biasa karena selalu menyentuh angka Miliaran bahkan Triliunan rupiah.


REDD: Memunculkan Sikap Curiga Masyarakat
Berbagai prilaku untuk memuluskan proyek REDD, memunculkan sikap curiga masyarakat. Kecurigaan ini muncul karena para pemrakarsa DA REDD seringkali menyuguhkan informasi berkenaan dengan nominal uang ketika membicarakan REDD, dengan maksud menarik minat masyarakat. Namun yang terjadi justru menimbulkan kecurigaan. Dibeberapa komunitas masyarakat telah membuat aturan-aturan sehubungan dengan proyek-proyek yang berkenaan dengan isu REDD, carbon trade dan perubahan iklim. Misalnya memasang tarif kepada pihak yang melakukan penelitian atau kegiatan yang berkaitan dengan REDD.


Uang tak Datang, Pemda Patah Arang

Dalam kenyataannya, uji coba DA tidak berjalan dengan mulus. Faktornya, selain karena mekanisme kompensasi yang disepakati secara internasional berbasis kemampuan menjaga hutan, juga karena kebijakan benefit sharing yang tidak memadai untuk Pemda. Hal tersebut karena FFI yang hendak melakukan kegiatan ujicoba REDD di danau Siawan-Belida memakai ijin bernama Restorasi Ekosistem (RE). Restorasi Ekosistem dalam Permenhut no 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Kabrbon pada Hutan Produksi dan hutan Lindung, pada lampiran 3 menyebutkan bagian Pemerintah adalah 20%, Masyarakat 20% dan Pengembang 60%. Puncaknya, Bupati Kapuas Hulu menolak membuka sebuah workshop REDD yang digagas oleh salah satu pengembang REDD di Putussibau, karena beranggapan bahwa kegiatan ujicoba REDD belum jelas kompensasi terhadap PAD.


Menimbulkan Rasa Kekuatiran dan Keresahan Masyarakat

Pertanyaan yang selalu muncul ketika bicara soal proyek iklim di masyarakat adat Iban Meliau dan Sungai Utik adalah, bagaimana dengan posisi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan demonstration activities? apakah mereka masih boleh untuk masuk (mengakses) kawasan hutan yang dijadikan lokasi REDD? Bagaimana dan seperti apa benefit yang akan mereka terima, serta bagaimana peluang mereka secara berdikari untuk memprakarsai proyek REDD kedepan? Jawabannya sudah mereka dengar melalui presentasi pemrakarsa DA dalam beberapa seminar yang dilaksanakan. Dan jawabannya adalah DA REDD akan menghilangkan Hak-hak masyarakat adat, akan memutuskan akses masyarakat terhadap SDA nya, tidak memberikan benefit bagi masyarakat dan tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk berdikari.


Kompensasi: Harapan yang sia-sia

Banyak yang menjanjikan kompensasi yang menggiurkan jika masyarakat mau menyerahkan hutannya untuk DA REDD. Bahkan dengan memakai Permenhut Nomor 36 tahun 2009 tentang REDD sebagai senjata untuk meyakinkan masyarakat. Dalam Permenhut tersebut disebutkan bahwa hutan adat dan hutan desa dapat dijadikan lokasi REDD, yang mengindikasikan masyarakat diberi kesempatannya untuk melakukan proyek secara mandiri, dan menerima kompesasinya. Namun semua itu adalah sia-sia mengingat sampai saat ini belum ada pengakuan hukum atas hutan adat. Yang terjadi justru Hutan Adat masyarakat justru sudah dibebankan Dephut sebagai wilayah konsesi. Sebagai contoh Sungai Utik dan Meliau. Di Kawasan Adat Sungai Utik dimasuki konsesi PT. Bumi Raya Wood Industries (BRUWI) dan sebagiannya adalah hutan lindung, sedangkan Meliau sebagian besar hutan primernya (Kerapa) diklaim sebagai wilayah Taman Nasional Danau Sentarum. Artinya, jikapun dijadikan DA REDD, maka perusahaan-perusahaan tersebutlah yang dapat manfaatnya.


REDD: Meremehkan dan mengkambinghitamkan Masyarakat

Munculnya konsep “menjaga hutan” yang dituntut Pemrakarsa REDD terhadap warga masyarakat di sekitar situs DA REDD menimbulkan pertanyaan “apakah selama ini masyarakat tidak menjaga hutan? Pertanyaan lain muncul ketika skema RE (untuk hutan yang dianggap deforest atau rusak) diajukan oleh FFI dalam proyek REDD. Kalau hutan itu rusak karena bekas HPH, mengapa tidak mempersoalkannya HPH yang telah merusaknya? Mengapa Justru menggunakan alas hak ijin Restorasi HPH tersebut? Kenyataan ini sungguh tidak adil bagi masyarakat yang selama ini menjaga dan menyelamatkan hutan.


Pemda Tidak Siap dan Saling Lempar Tanggungjawab

Hingga saat ini Pemrov Kalbar, Pemkab Ketapang dan Kapuas Hulu belum memiliki sikap yang jelas terkait proyek ujicoba REDD secara khusus. Tidak ditemukannya kebijakan atau regulasi daerah maupun kelembagaan yang fokus berkaitan dengan REDD (Komda/Pokja REDD, Dewan Daerah Perubahan iklim dll). Hampir semua elemen dan instansi di kabupaten Kapuas Hulu, menganggap bahwa segala informasi mengenai perubahan iklim dan REDD berada di tangan Dinas Kehutanan. Lalu bagaimana dengan instansi lainnya seperti kantor Lingkungan Hidup, Bappeda, dan sekretariat daerah. Ketika merespon kegiatan ujicoba REDD, terjadi kebingungan institusi mana yang akan secara intensif mengawal isu perubahan iklim dan berbagai proyek ujicoba REDD. Ada dua pandangan berbeda. Pandangan pertama, mengusulkan agar segala urusan mengenai isu perubahan iklim diurusi oleh Pokja Konservasi yang pernah dibentuk oleh Pemda guna mengawal konsep kabupaten konservasi. Usulan ini datang dari Kantor Bupati atau sekretariat daerah. Namun pandangan kedua berpendapat bahwa, isu iklim termasuk REDD sebaiknya diurusi oleh sebuah organisasi baru berupa Pokja Perubahan Iklim dan atau dengan nama lain. Argumentasinya bahwa ada kebijakan pusat yang membenarkan hal tersebut, yakni dari Dewan Nasional Perubahan Iklm (DNPI) dan kementrian Kehutanan. Pandangan ini dimunculkan oleh Dinas Kehutanan sebagai tindak lanjut dari arahan Kementrian Kehutanan agar daerah segera membentuk Pokja atau Dewan Daerah Perubahan Iklim sebagai respon atas mekanisme REDD yang mulai berdinamika.


Pembelajaran

Dari fakta-fakta yang terjadi berkenaan dengan isu perubahan iklim dan DA REDD, diperoleh pembelajaran sebagai berikut:

  • Penanggulangan dampak perubahan iklim mesti dilakukan secara bersama oleh semua pihak dengan tetap berbasiskan masyarakat setempat.
  • Penting untuk memastikan hak-hak masyarakat adat atas hutan dan sumberdaya alam lainnya terpenuhi dalam proses dan kegiatan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Kapuas Hulu.
  • Perlu adanya pengakuan atas praktik-praktik pengelolaan oleh masyarakat sebagai usaha pengurangan Emisi
  • Penting pelibatan masyarakat secara utuh. Pelibatan masyarakat tersebut dapat terjemahkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek iklim yang ada di Kapuas Hulu.
  • Posisi masyarakat semestinya diutamakan atau paling tidak setara dengan pihak lainnya dalam dalam proyek REDD, dan hal ini bisa diwujud nyatakan dalam MoU yang dibuat dimana masyarakat tidak dijadikan target tapi adalah pihak yang menentukan.
  • Perlu memaksimalkan peran Pemda Kapuas Hulu untuk mensosialisasikan dampak Perubahan Iklim dan turut aktif dalam memberikan pendidikan iklim bagi seluruh lapisan masyarakat.
  • Perlu mengembangkan Upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim jangan sampai menyebabkan pengalihan mata pencaharian atau penghilangan sumber penghidupan masyarakat dengan atas nama program atau proyek apapun tanpa keinginan masyarakat secara sukarela. Prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent mutlak dilakukan dengan berbasiskan pendekatan.