Rabu, 19 Oktober 2016 09:30
BERJALAN: Anak-anak sedang berjalan menuju hutan. Mereka juga menyanyikan yel-yel lagu anak rumah betang sungai utik. AGUS PUJIANTO/PONTIANAKPOST


Terbatasnya fasilitas pendidikan di wilayah pedalaman tak menyurutkan semangat anak-anak untuk belajar. Selain membekali diri dengan wawasan pengetahuan umum, mereka juga dibekali pemahaman kearifan lokal. 

AGUS PUJIANTO, Kapuas Hulu

KAMI anak-anak Sungai Utik. Dibesarkan dari hutan rimba, kami suka menari, kami suka bernyanyi. Kami mencari ikan. Hoiii.. Sungguh gembira.”  Demikian penggalan lirik lagu anak-anak Sungai Utik yang berjudul “Tanah Leluhur Jangan Pernah Kita Gadai” itu lantang dinyanyikan rombongan anak-anak di Desa Batu Lintang, Kapuas Hulu saat keluar dari rumah betang.

Dengan memanggul Tangkin (ransel khas masyarakat Iban yang terbuat dari anyaman rotan) di pundaknya, Merry dan beberapa rekan seusianya itu tampak begitu kompak bernyanyi. Meski tanpa iringan musik, intonasinya tepat diucapkan. Lagu mars ini dinyanyikan berkali-kali sepanjang perjalanan hingga tiba di hutan. 

Beginilah aktivitas anak-anak yang tinggal di rumah betang Sungai Utik setiap menghabiskan akhir pekan. Tujuan mereka pergi ke hutan, bukan untuk berladang membantu orangtua melainkan belajar mengenal kearifan lokal dari alam.

Cara belajar mereka sama halnya seperti di sekolah. Masing-masing membawa peralatan seperti buku dan peralatan tulis. Selain itu, mereka juga membawa persediaan makanan dan minuman selama belajar di hutan. Semua perlengkapan ini disimpan di dalam Tangkin. Hampir semua anak-anak yang dibesarkan di “rimba” ini memanggul Tangkin. 

Setibanya di hutan, puluhan anak-anak itu lalu mulai menjelajah. Menelisik flora dan fauna yang ada dalam hutan hingga menemukan sesuatu yang menarik kemudian dituangkan ke dalam gambar. 

“Kami belajar dan bermain bersama di hutan,” sebut Merry. Siswa kelas 4 SD ini mengaku, jika hasil menggambarnya tidak selesai hari itu, bisa dibawa pulang ke rumah betang. Di sana, hasil coretan didiskusikan bersama-sama dengan rekan seusianya untuk dimintai pendapat. Esok harinya, hasil menggambar dibawa ke sekolah. 

SD dan SMP Satu Atap di Sungai Utik, jauh dari perkotaan. Menuju ke lokasi ini, harus menempuh jarak kurang lebih 70 kilometer dari ibu kota kabupaten. 

Sarana dan fasilitas pendidikan yang ada di sekolah serba pas-pasan. Sebagai tenaga pengajar, hanya ada dua guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selebihnya honorer. 

“Guru di sini (SD-SMP) sangat kekurangan. Dua PNS, tiga guru honorer,” kata Kristiana Banang, salah seorang guru.

Kadang, Kristiana mengaku bingung saat mendidik muridnya ketika pemerintah mengganti kurikulum. Apalagi pihaknya tidak ditunjang dengan saranan dan prasarana yang memadai. “Pemerintah sepertinya belum melihat guru pedalaman,” ujarnya. 

Menurut Kristiana, pihaknya sudah mengajukan berbagai fasilitas dan tenaga guru ke pemerintah setempat. Namun sampai saat ini belum ada realisasi. “Tuntutan pemerintah tinggi, disetarakan dengan perkotaan. Padahal kondisi kami seperti ini,” ungkapnya. 

Diakuinya, guru di Sungai Utik tidak menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Asalkan anak-anak bisa mengenyam pendidikan saja, dia sudah banyak bersyukur. Untuk menambah wawasan budaya dan kearifan lokal anak didiknya sejak dini, dia banyak menganjurkan untuk lebih dekat dengan alam. 

“Perhatian pemerintah memang belum merata, dan memperhatikan guru di pedalaman. Tapi kami bisa belajar banyak dari alam,” ujarnya.

Sumber: http://www.pontianakpost.com/belajar-dalam-keterbatasan-utamakan-kearifan-lokal