PONTIANAK, SP- Pansus Raperda Masyarakat Adat Kalbar DPRD provinsi akan mengundang seluruh kepala daerah untuk terlibat dalam pembahasan. Masukan dari para kepala daerah ini sangat penting untuk jadi-tidaknya memberlakukan perda itu.
"Perda ini juga mengatur bagaimana kita memberikan kewenangan kepada kepala daerah buntuk mengidentifikasi, memverifikasi, mana yang sebenarnya disebut masyarakat adat. Tentu tidak semua wilayah bisa diterapkan,” tegas Ketua Pansus, Martinus Sudarno kepada Suara Pemred di Ruang Serbaguna DPRD Kalbar, Senin (15/8).
Selain kepala daerah, menurut Martinus, pihaknya memang mengundang sejumlah institusi dan komponen masyarakat untuk menyampaikan pandangannya terhadap Raperda Masyarakat Adat Kalbar.
Adapun pertemuan kemarin dihadiri oleh Komnas HAM, Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Kodam XII Tanjungpura. Wakil dari seluruh etnis di Kalbar juga bakal diundang dalam pertemuan berikut.
“Kita undang dari semua etnis untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Hari ini kita mulai dari instansi-instansi penting. Tadi kita sudah mendapatkan masukan-masukan”, ungkapnya.
Masukan-masukan yang diungkapkan dalam public hearing tersebut, akan ditampung, dipertimbangkan dan dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang sudah memiliki perda serupa.
“Menurut saya oke-oke saja, tidak masalah. Jadi, semua masukan kita tampung, kita pertimbangkan, dan kita bandingkan dengan daerah-daerah lain yang sudah memiliki perda ini. Pada akhirnya, pansuslah yang memutuskan. Apakah dilanjutkan, diubah atau bagaimana, tergantung pansus,” kata Martinus.
“Masukan-masukan dari kelompok masyarakat ini, kita jadikan sebagai paham untuk memperkaya raperda ini,” lanjutnya.
Martinus mengklaim, pihaknya sebagai lembaga politik sudah terbiasa menghadapi pro dan kontra terkait suatu kebijakan yang sudah, sedang dan akan diberlakukan. Justru dari kelompok yang menolak selalu diundang pihaknya, termasuk dalam pembahasan raperda tersebut.
"Kita adakan dialog, maunya seperti apa. Jangan ada berprasangka buruk dulu. Jika ada pasal-pasal yang ditolak, pasal yang mana? Jadi, hal yang tidak diketahui, jangan langsung ditolak begitu saja. Kita jangan seperti itu. Jadi, sampaikan ke lembaga resmi, kepada kita," tambahnya.
Ditegaskan, public hearing ini dilakukan pihaknya untuk kali pertama. Dengan demikian diyakininya banyak proses yang akan dilalui. Ditambahkan, raperda ini juga sudah melalui proses studi banding ke Kalimantan Timur (Kaltim).
"Di sana luar biasa, sejak adanya perda ini, jadi lebih tertib. Artinya, seluruh masyarakat merasa terlindungi. Di Kaltim itu, secara umum yang diatur. Tidak secara detail, tapi keberadaan perda ini membuat masyarakat proaktif, hak-haknya merasa terlindungi. Selama ini, tidak ada landasan hukum bagi mereka untuk membela diri apabila hak wilayahnya diduduki,” tambahnya.
Martinus mengungkapkan, tidak ada penetapan target untuk raperda tersebut. “Berapapun waktu yang diperlukan, dan jika memang harus diperpanjang, tidak ada masalah, supaya perda ini lebih sempurna isinya. Makanya kita tidak mau dibatasi dengan waktu," ungkapnya.
Sementara itu, Letkol Dedi Kurnia Harahap yang mewakili Kodam XII/TPR menyatakan, jika perda ini diberlakukan, maka perda tersebut harus mampu mengakomodir keberadaan suku-suku atau adat-adat di Kalbar. “Karena di Kalbar cukup banyak suku. Ada Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Sunda, Dayak. Ketika adat ini berjalan, tentu ada pelaksanaan perda ini,” ungkapnya.
Menurut Dedi, aturan dari setiap adat tidaklah sama. “Pemberlakuan aturan-aturan adatnya tidak sama. Bagaimana lembaga adat menjalankan aturan itu? Kan bukan lembaga yang heterogen, bukan lembaga campuran, tapi lembaga yang menerapkan norma adat. Berarti, norma adat tentu pelaksana yang memahami norma tersebut,” tegasnya.(ynt/pat)
"Perda ini juga mengatur bagaimana kita memberikan kewenangan kepada kepala daerah buntuk mengidentifikasi, memverifikasi, mana yang sebenarnya disebut masyarakat adat. Tentu tidak semua wilayah bisa diterapkan,” tegas Ketua Pansus, Martinus Sudarno kepada Suara Pemred di Ruang Serbaguna DPRD Kalbar, Senin (15/8).
Selain kepala daerah, menurut Martinus, pihaknya memang mengundang sejumlah institusi dan komponen masyarakat untuk menyampaikan pandangannya terhadap Raperda Masyarakat Adat Kalbar.
Adapun pertemuan kemarin dihadiri oleh Komnas HAM, Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Kodam XII Tanjungpura. Wakil dari seluruh etnis di Kalbar juga bakal diundang dalam pertemuan berikut.
“Kita undang dari semua etnis untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Hari ini kita mulai dari instansi-instansi penting. Tadi kita sudah mendapatkan masukan-masukan”, ungkapnya.
Masukan-masukan yang diungkapkan dalam public hearing tersebut, akan ditampung, dipertimbangkan dan dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang sudah memiliki perda serupa.
“Menurut saya oke-oke saja, tidak masalah. Jadi, semua masukan kita tampung, kita pertimbangkan, dan kita bandingkan dengan daerah-daerah lain yang sudah memiliki perda ini. Pada akhirnya, pansuslah yang memutuskan. Apakah dilanjutkan, diubah atau bagaimana, tergantung pansus,” kata Martinus.
“Masukan-masukan dari kelompok masyarakat ini, kita jadikan sebagai paham untuk memperkaya raperda ini,” lanjutnya.
Martinus mengklaim, pihaknya sebagai lembaga politik sudah terbiasa menghadapi pro dan kontra terkait suatu kebijakan yang sudah, sedang dan akan diberlakukan. Justru dari kelompok yang menolak selalu diundang pihaknya, termasuk dalam pembahasan raperda tersebut.
"Kita adakan dialog, maunya seperti apa. Jangan ada berprasangka buruk dulu. Jika ada pasal-pasal yang ditolak, pasal yang mana? Jadi, hal yang tidak diketahui, jangan langsung ditolak begitu saja. Kita jangan seperti itu. Jadi, sampaikan ke lembaga resmi, kepada kita," tambahnya.
Ditegaskan, public hearing ini dilakukan pihaknya untuk kali pertama. Dengan demikian diyakininya banyak proses yang akan dilalui. Ditambahkan, raperda ini juga sudah melalui proses studi banding ke Kalimantan Timur (Kaltim).
"Di sana luar biasa, sejak adanya perda ini, jadi lebih tertib. Artinya, seluruh masyarakat merasa terlindungi. Di Kaltim itu, secara umum yang diatur. Tidak secara detail, tapi keberadaan perda ini membuat masyarakat proaktif, hak-haknya merasa terlindungi. Selama ini, tidak ada landasan hukum bagi mereka untuk membela diri apabila hak wilayahnya diduduki,” tambahnya.
Martinus mengungkapkan, tidak ada penetapan target untuk raperda tersebut. “Berapapun waktu yang diperlukan, dan jika memang harus diperpanjang, tidak ada masalah, supaya perda ini lebih sempurna isinya. Makanya kita tidak mau dibatasi dengan waktu," ungkapnya.
Sementara itu, Letkol Dedi Kurnia Harahap yang mewakili Kodam XII/TPR menyatakan, jika perda ini diberlakukan, maka perda tersebut harus mampu mengakomodir keberadaan suku-suku atau adat-adat di Kalbar. “Karena di Kalbar cukup banyak suku. Ada Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Sunda, Dayak. Ketika adat ini berjalan, tentu ada pelaksanaan perda ini,” ungkapnya.
Menurut Dedi, aturan dari setiap adat tidaklah sama. “Pemberlakuan aturan-aturan adatnya tidak sama. Bagaimana lembaga adat menjalankan aturan itu? Kan bukan lembaga yang heterogen, bukan lembaga campuran, tapi lembaga yang menerapkan norma adat. Berarti, norma adat tentu pelaksana yang memahami norma tersebut,” tegasnya.(ynt/pat)
Sumber: http://suarapemredkalbar.com/berita/kalbar-1/2016/08/15/dprd-bahas-raperda-masyarakat-adat-kalbar