PUTUSSIBAU, SP – Ratusan warga adat yang tergabung dalam Forum Ketemenggungan Masyarakat Adat Dayak Kabupaten Kapuas Hulu, mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, untuk beraudiensi membahas pelarangan pembakaran hutan dan lahan, Rabu (27/7).
Juru bicara Ketemenggungan, Bato menyebutkan undang-undang serta sosialisasi terhadap larangan pembakaran hutan dan lahan justru menuai keresahan masyarakat. Kebijakan ini dinilai tidak adil.
Warga meminta adanya solusi sebelum aturan ini diterapkan. Sebab sebelumnya, sudah dilakukan penebangan serta penebasan di ladang mereka. "Jadi jika tidak dibakar, lahan ini tidak bisa ditanam. Jika sudah tidak bisa ditanami, warga akan kelaparan," terang Bato.
Maka itu, hal tersebut patut dibahas. Sehingga ditemukan jalan keluar, sebelum memicu kesalah pahaman yang berujung bentrok antar warga dan penegak hukum.
Juru bicara Ketemenggungan suku Dayak Suruk, Andrian Odang menyebutkan, aturan tersebut menuai kebingungan serta kesusahan warga. Padahal, mereka menghidupi keluarga dari hasil penggarapan ladang tersebut.
"Kami ini menggantung hidup dari hasil berladang sudah turun temurun. Jadi kami minta keadilan. Berladang itu sudah menjadi tradisi. Sebab pembukaan areal harus melalui berbagai tahapan yang disertai dengan ritual adat sampai masa panen," katanya.
Dia mengecam tindakan penegak hukum bila menangkap warga yang membakar lahan. Mengingat belum ada solusi terhadap aturan tersebut. Jika warga ditangkap, menurutnya penjara akan penuh. Sebab mayoritas warga di Kapuas Hulu menggantungkan hidup dari berladang.
"Warga yang membakar lahan maksimal 2 hektare. Untuk ditanami jenis varitas lokal wajib melapor ke kades. Bila aturan ini dilaksanakan dengan begitu saja, akan sangat merugikan peladang," terangnya.
Ketua DPRD Rajuliansyah menyatakan permasalahan ini akan segera diselesaikan. "Kalau memang harus dibuat tim untuk mengurus masalah ini sampai ke pusat, kami buatkan dan segera membentuk timnya, agar permasalahan ini ada solusinya," jelasnya.
Sementara itu, Budi Harjo, angggota DPRD menganggap aparat penegak hukum seperti Polres dan Kodim tidak bersalah dalam menegakkan aturan ini. Sebab ini sudah menjadi keputusan Presiden RI, Joko Widodo. Sehingga, dalam penanganan hal ini, butuh sebuah solusi terhadap aturan itu. Bukan mencari siapa yang bersalah.
"Harus ada solusi dari permasalahan ini, sehingga warga tidak resah dalam berladang," katanya.
Minta Maaf
Waka Polres Kapuas Hulu, Kompol Dedi S, menyebutkan larangan itu merupakan maklumat yang dibuat oleh aparat keamanan dan Pemkab Kapuas Hulu.
Sebagai amanat undang-undang sebagai wujud sosialisasi ke masyarakat. "Ini langkah awal menyampaikan pemahaman. Agar tidak lagi membakar lahan untuk berladang. Namun dalam sosialisasi itu, kami akui ada keterbatasan. Jadi kami mohon maaf atas anggota yang kurang tepat menyampaikan sosialisasi itu," katanya.
Diterangkannya, polisi beserta dan aparat hukum lain yang bertugas menegaskan amanat undang-undang, bukan untuk membuat resah masyarakat.
"Pemahaman ini harus dirubah, dari itu kita perlu duduk bersama semua pihak. Mulai dari pihak adat, aparat, pemerintah dan dewan untuk membicarakan masalah ini," ujarnya.
Komandan Kodim 1206/Putussibau, Letkol Kav Budiman Ciptadi mengatakan, warga, aparat dan pemerintah dapat berembuk untuk mencarikan solusi persoalan ini.
"Namun masyarakat adat juga perlu memperhatikan dampak asapnya, dihirup generasi Indonesia, sehingga dapat mengganggu produktivitas generasi ke depan," terangnya. (sap/and/sut)
Juru bicara Ketemenggungan, Bato menyebutkan undang-undang serta sosialisasi terhadap larangan pembakaran hutan dan lahan justru menuai keresahan masyarakat. Kebijakan ini dinilai tidak adil.
Warga meminta adanya solusi sebelum aturan ini diterapkan. Sebab sebelumnya, sudah dilakukan penebangan serta penebasan di ladang mereka. "Jadi jika tidak dibakar, lahan ini tidak bisa ditanam. Jika sudah tidak bisa ditanami, warga akan kelaparan," terang Bato.
Maka itu, hal tersebut patut dibahas. Sehingga ditemukan jalan keluar, sebelum memicu kesalah pahaman yang berujung bentrok antar warga dan penegak hukum.
Juru bicara Ketemenggungan suku Dayak Suruk, Andrian Odang menyebutkan, aturan tersebut menuai kebingungan serta kesusahan warga. Padahal, mereka menghidupi keluarga dari hasil penggarapan ladang tersebut.
"Kami ini menggantung hidup dari hasil berladang sudah turun temurun. Jadi kami minta keadilan. Berladang itu sudah menjadi tradisi. Sebab pembukaan areal harus melalui berbagai tahapan yang disertai dengan ritual adat sampai masa panen," katanya.
Dia mengecam tindakan penegak hukum bila menangkap warga yang membakar lahan. Mengingat belum ada solusi terhadap aturan tersebut. Jika warga ditangkap, menurutnya penjara akan penuh. Sebab mayoritas warga di Kapuas Hulu menggantungkan hidup dari berladang.
"Warga yang membakar lahan maksimal 2 hektare. Untuk ditanami jenis varitas lokal wajib melapor ke kades. Bila aturan ini dilaksanakan dengan begitu saja, akan sangat merugikan peladang," terangnya.
Ketua DPRD Rajuliansyah menyatakan permasalahan ini akan segera diselesaikan. "Kalau memang harus dibuat tim untuk mengurus masalah ini sampai ke pusat, kami buatkan dan segera membentuk timnya, agar permasalahan ini ada solusinya," jelasnya.
Sementara itu, Budi Harjo, angggota DPRD menganggap aparat penegak hukum seperti Polres dan Kodim tidak bersalah dalam menegakkan aturan ini. Sebab ini sudah menjadi keputusan Presiden RI, Joko Widodo. Sehingga, dalam penanganan hal ini, butuh sebuah solusi terhadap aturan itu. Bukan mencari siapa yang bersalah.
"Harus ada solusi dari permasalahan ini, sehingga warga tidak resah dalam berladang," katanya.
Minta Maaf
Waka Polres Kapuas Hulu, Kompol Dedi S, menyebutkan larangan itu merupakan maklumat yang dibuat oleh aparat keamanan dan Pemkab Kapuas Hulu.
Sebagai amanat undang-undang sebagai wujud sosialisasi ke masyarakat. "Ini langkah awal menyampaikan pemahaman. Agar tidak lagi membakar lahan untuk berladang. Namun dalam sosialisasi itu, kami akui ada keterbatasan. Jadi kami mohon maaf atas anggota yang kurang tepat menyampaikan sosialisasi itu," katanya.
Diterangkannya, polisi beserta dan aparat hukum lain yang bertugas menegaskan amanat undang-undang, bukan untuk membuat resah masyarakat.
"Pemahaman ini harus dirubah, dari itu kita perlu duduk bersama semua pihak. Mulai dari pihak adat, aparat, pemerintah dan dewan untuk membicarakan masalah ini," ujarnya.
Komandan Kodim 1206/Putussibau, Letkol Kav Budiman Ciptadi mengatakan, warga, aparat dan pemerintah dapat berembuk untuk mencarikan solusi persoalan ini.
"Namun masyarakat adat juga perlu memperhatikan dampak asapnya, dihirup generasi Indonesia, sehingga dapat mengganggu produktivitas generasi ke depan," terangnya. (sap/and/sut)
sumber : http://suarapemredkalbar.com/berita/kapuas-hulu/2016/07/28/masyarakat-adat-dayak-minta-solusi-tentang-pelarangan-bakar-hutan-dan-lahan