Rabu, 11 Mei 2016 07:30 WIB
WARGA Ketemenggungan Belaban Ella juga mewarisi kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam. Aturan adat yang ketat dijalankan agar pengelolaan tidak merusak kelestarian alam.
Pembukaan lahan untuk ladang pertanian, misalnya, diatur dari kepemilikan, penentuan lokasi, hingga pengolahannya. Lokasi perladangan ditetapkan setelah memperoleh petunjuk spiritual serta mencermati perilaku satwa, letak lahan, dan fenomena alam. Perladangan menerapkan sistem gilir balik atau rotasi lahan minimal tiga tahun sekali.
Ladang yang ditinggalkan itu dibiarkan menghutan kembali atau ditanami karet dan pohon lokal. Teknik pembakaran untuk menyuburkan lahan juga diatur sedemikian rupa. Peladang terlebih dahulu menyiapkan sekat bakar untuk mengendalikan api. Pembakaran pun harus diawasi agar tidak merambat ke lokasi lain. Denda adat akan dikenakan bagi para pelanggar.
Aturan ketat juga diberlakukan dalam pemanfaatan hasil hutan.
Warga hanya boleh mengambil hasil secukupnya, tanpa merusak hutan, untuk kebutuhan keluarga. Alhasil, hutan di wilayah yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR) dan Perusahaan HPH Sari Bumi Kusuma (SBK) itu pun tetap menghijau.
“Warga di sini kompak dan berkomitmen tinggi dalam melestarikan lingkungan. Mereka menolak ekspansi perusahaan perkebunan,” kata Agustinus, Direktur Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), LSM yang mendampingi warga.
Warga pun berinisatif menjadikan perkampungan mereka sebagai wilayah hukum adat untuk lebih menjamin pelestarian budaya dan sumber daya alam.
Namun, perjuangan itu tidak mudah karena masih bersengketa dengan pihak TNBBBR. Ada 5.000 dari sekitar 13 ribu hektare wilayah adat yang diklaim sebagai kawasan taman nasional.
Sengketa itu berujung pada penangkapan warga oleh Polres Melawi pada 2007. Mereka dianggap menyerobot lahan TNBBBR untuk berladang. Vonis tujuh bulan penjara dan denda Rp50 juta pun dijatuhkan Pengadilan Negeri Sintang terhadap dua warga Sungkup-Belaban Ella. Vonis itu dikuatkan dengan putusan kasasi di Mahkamah Agung.
“Padahal, lahan itu masih berada di wilayah adat berdasarkan peta partisipatif 1998. Pemetaan pun melibatkan pihak TNBBBR, kantor pertanahan, dan pemda setempat,” tegas Agustinus.
Warga didampingi pihak LBBT kemudian mengadu ke DPRD dan Pemkab Melawi, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, serta Dewan Kehutanan Nasional. Pemkab Melawi menjamin tidak bakal ada lagi penangkapan warga gara-gara konflik tersebut. Lahan sengketa ditetapkan sebagai kawasan status quo.
Pemkab Melawi pun menyetujui usul pembuatan peraturan daerah (perda) wilayah hukum adat. Rancangan perda itu dijanjikan bakal dibahas mulai tahun ini.
“Perda memang tidak dikhususkan kepada Ketemenggungan Belaban Ella, tapi juga untuk beberapa wilayah adat di Melawi,” jelas Agustinus.
Kepastian hukum mengenai lahan seluas 5.000 hektare itu sangat dinanti warga. Legalitas tersebut tidak hanya menyangkut pengelolaan lahan, tetapi juga pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat setempat. “Saya potong sapi seekor bila lahan itu dikembalikan kepada kami,” ucap Temenggung Belaban Ella, Manan. (AR/N-3)
sumber: http://www.mediaindonesia.com/news/read/44695/kearifan-lokal-dalam-menjaga-alam/2016-05-11